KHM 99 - Der Geist im Glas (Roh di dalam Botol)

 

Roh di dalam Botol

Pada suatu masa, hiduplah seorang penebang kayu miskin yang bekerja keras sejak fajar hingga larut malam. Ketika akhirnya ia berhasil menyisihkan sedikit uang, ia berkata kepada anak lelakinya, "Engkau adalah satu-satunya anakku. Uang yang telah kudapat dengan keringat ini akan kugunakan untuk membiayai pendidikanmu. Jika kelak engkau menguasai suatu pekerjaan yang jujur, engkau dapat menanggung hidupku di hari tuaku, saat kakiku telah lemah dan aku terpaksa tinggal di rumah."

Maka berangkatlah sang anak ke sekolah tinggi, dan ia belajar dengan tekun hingga para gurunya memujinya. Ia tinggal di sana cukup lama. Setelah menyelesaikan beberapa kelas, namun belum menguasai segala hal, habislah uang yang telah dikumpulkan ayahnya. Anak itu pun terpaksa pulang kembali.

"Ah," kata sang ayah sedih, "Aku tak dapat memberi lagi. Dan di masa-masa sulit ini, aku tak sanggup mencari uang lebih banyak selain yang cukup untuk roti kita sehari-hari."

"Ayah yang baik," jawab sang anak, "jangan khawatir. Jika itu memang kehendak Tuhan, semua akan menjadi kebaikan bagiku. Aku akan segera terbiasa."

Ketika ayahnya hendak pergi ke hutan untuk mencari uang dengan membantu menumpuk dan menyusun kayu, sekaligus menebangnya, sang anak berkata, "Aku akan pergi bersamamu dan membantumu."

"Tidak, anakku," jawab sang ayah, "pekerjaan itu berat bagimu. Engkau belum terbiasa pada kerja kasar dan tak akan sanggup menanggungnya. Lagi pula, aku hanya punya satu kapak dan tak ada uang untuk membeli yang lain."

"Pinjamlah kapak tetangga kita," sahut sang anak, "sampai aku mampu membeli untuk diriku sendiri."

Maka sang ayah pun meminjam kapak dari tetangga, dan keesokan paginya, ketika fajar merekah, mereka berangkat bersama menuju hutan. Anak itu membantu ayahnya dengan riang dan bersemangat.

Namun ketika matahari tepat berada di atas kepala, sang ayah berkata, "Kita akan beristirahat dan makan siang. Setelah itu kita akan bekerja dengan lebih baik."

Sang anak mengambil roti di tangannya dan berkata, "Ayah, beristirahatlah saja. Aku belum lelah. Aku akan berjalan-jalan sebentar di hutan mencari sarang burung."

"Ah, kau ini bodoh," kata sang ayah, "untuk apa berlari-lari di sana? Nanti kau akan lelah dan tak lagi sanggup mengangkat tangan. Duduklah di sini di sampingku."

Namun sang anak tetap pergi memasuki hutan. Ia makan rotinya sambil bergembira, menatap ke sela-sela ranting hijau, mencari tahu apakah ia dapat menemukan sarang burung. Ia berjalan ke sana kemari hingga akhirnya sampai di sebuah pohon ek besar yang tampak tua dan mengerikan, tentu sudah berusia ratusan tahun dan bahkan lima orang sekalipun tak akan mampu memeluk batangnya.

Ia berhenti, menatap pohon itu, dan berpikir, “Pasti banyak burung yang membangun sarangnya di sini.”

Tiba-tiba ia merasa mendengar sebuah suara. Ia berhenti mendengarkan, dan menyadari bahwa ada seseorang yang berseru dengan suara teredam, "Lepaskan aku! Lepaskan aku!"

Ia menoleh ke sekeliling, namun tak melihat siapa pun. Meski begitu, ia merasa suara itu berasal dari bawah tanah.

Maka ia berseru, "Siapakah engkau? Di mana engkau?"

Suara itu menjawab, "Aku di sini, di antara akar-akar pohon ek ini. Lepaskan aku! Lepaskan aku!"

Sang anak mulai menggali tanah di bawah pohon itu dan mencari di antara akarnya, hingga akhirnya ia menemukan sebuah botol kaca yang tersembunyi di sebuah lubang kecil. Ia mengangkat botol itu dan menahannya di bawah cahaya. Di dalamnya ia melihat sebuah makhluk berbentuk seperti katak, melompat-lompat ke sana kemari.

"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriak makhluk itu lagi.

Anak itu, tak menaruh curiga, segera mencabut sumbat botol itu. Begitu sumbat tercabut, seketika itu juga muncul sebuah roh dari dalamnya. Ia mulai membesar dan terus membesar hingga dalam waktu singkat berdirilah di hadapan sang anak seorang sosok mengerikan, tingginya setengah dari pohon besar tempat mereka berdiri.

"Tahukah engkau," teriaknya dengan suara menggelegar, "apa upahmu karena telah melepaskanku?"

"Tidak," jawab sang anak tanpa gentar, "bagaimana aku bisa tahu?"

"Kalau begitu akan kuberitahu," seru roh itu. "Aku harus mencekikmu sampai mati."

"Kau seharusnya memberitahuku lebih dulu," kata sang anak, "maka sudah pasti aku akan membiarkanmu tetap terkurung. Tapi kepalaku akan tetap tegak meskipun kau hendak berbuat apa pun. Lebih dari satu orang harus dimintai pendapat untuk urusan ini."

"Pendapat orang lain atau tidak," sahut roh itu, "kau akan menerima upah yang pantas. Apakah kau mengira aku terkurung di sana begitu lama sebagai suatu kemurahan hati? Tidak! Itu adalah hukuman bagiku. Aku adalah Mercurius yang perkasa. Siapa pun yang melepaskanku, harus kucengkram lehernya hingga mati."

"Tunggu," jawab sang anak, "tidak secepat itu. Aku harus tahu dulu apakah benar kau terkurung di botol kecil itu, dan bahwa kaulah roh yang dimaksud. Jika memang kau bisa masuk lagi ke dalamnya, barulah aku akan percaya. Setelah itu, terserahlah kau mau melakukan apa terhadapku."

Roh itu, dengan nada congkak, berkata, "Itu urusan sepele."

Ia pun meringkuk, mengecil, dan merapatkan tubuhnya, hingga menjadi sekecil dan seringkas bentuknya semula. Lalu ia menyelinap kembali melalui leher botol yang sempit, masuk sepenuhnya ke dalam. Begitu ia berada di dalam, sang anak cepat-cepat menyumbatkan kembali gabus yang tadi dicabut, lalu melemparkan botol itu ke antara akar-akar pohon ek di tempat semula. Maka roh itu terperangkap kembali.

Kini sang anak bersiap untuk kembali kepada ayahnya, tetapi roh itu berseru memohon dengan suara pilu,

"Ah, lepaskan aku! Oh, lepaskan aku!"

"Tidak," jawab sang anak, "tidak untuk kedua kalinya! Siapa yang sekali mencoba mengambil nyawaku, tidak akan kubebaskan lagi setelah aku berhasil menangkapnya kembali."

"Jika kau mau membebaskanku," kata roh itu, "aku akan memberimu begitu banyak hingga kau akan hidup berkecukupan sepanjang umurmu."

"Tidak," jawab sang anak, "kau akan menipuku seperti yang kau lakukan pertama kali."

"Kau sedang membuang keberuntunganmu sendiri," kata roh itu, "aku takkan mencelakaimu, malah akan memberimu imbalan yang besar."

Sang anak berpikir, "Baiklah, akan kucoba. Mungkin kali ini ia menepati janji. Bagaimanapun, ia tidak akan bisa mengakali aku."

Maka ia pun mencabut gabus itu kembali, dan roh itu bangkit keluar dari botol seperti sebelumnya, merentangkan tubuhnya, dan menjadi sebesar raksasa.

"Sekarang kau akan menerima upahmu," kata roh itu. Ia menyerahkan kepada sang anak sebuah kantung kecil, mirip sepotong plester, seraya berkata,

"Jika kau mengusapkan salah satu ujungnya pada luka, maka luka itu akan sembuh. Dan jika kau menggosokkan ujung lainnya pada baja atau besi, maka logam itu akan berubah menjadi perak."

"Harus kucoba dahulu," kata sang anak. Ia pergi ke sebuah pohon, mengupas kulitnya dengan kapaknya, lalu mengusapkan salah satu ujung plester itu pada bagian yang terkelupas. Seketika kulit pohon itu menutup kembali dan sembuh.

"Baiklah, semuanya beres," katanya pada roh itu, "sekarang kita bisa berpisah."

Roh itu mengucapkan terima kasih atas kebebasannya, dan sang anak pun berterima kasih atas hadiah yang diterimanya. Lalu ia kembali kepada ayahnya.

"Ke mana saja kau berlarian?" tanya sang ayah. "Mengapa kau lupa pada pekerjaanmu? Aku sudah bilang sejak awal bahwa kau takkan pernah bisa menyelesaikan apa pun."

"Tenanglah, Ayah, aku akan menebusnya."

"Menebusnya, katamu," ucap sang ayah dengan marah. "Tak usah repot-repot."

"Lihat saja, Ayah, aku akan segera menebang pohon itu, dan akan terbelah seketika."

Maka ia mengambil plesternya, menggosokkan kapaknya, lalu mengayunkan satu pukulan keras. Tetapi karena besi kapak itu telah berubah menjadi perak, mata kapak pun melengkung.

"Wahai Ayah, lihatlah kapak buruk yang kau berikan padaku ini, sudah bengkok sama sekali."

Sang ayah terkejut. "Aduh, apa yang telah kau lakukan? Sekarang aku harus membayarnya, dan aku tidak punya uang untuk itu—itulah semua hasil yang kudapat dari pekerjaanmu hari ini."

"Jangan marah, Ayah," kata sang anak, "aku akan segera membayar kapak itu."

"Dasar bodoh!" seru sang ayah. "Dengan apa kau akan membayarnya? Kau tidak punya apa-apa selain apa yang kuberikan. Ini pasti akal-akalan pelajar yang memenuhi kepalamu, tapi kau sama sekali tak paham pekerjaan menebang kayu."

Beberapa saat kemudian, sang anak berkata, "Ayah, aku benar-benar tak bisa bekerja lagi. Lebih baik kita libur saja."

"Apa!" jawab sang ayah. "Kau kira aku akan duduk diam seperti kau? Aku harus terus bekerja, tapi kau boleh pulang sendiri."

"Ayah, ini pertama kalinya aku berada di hutan ini, aku tak tahu jalan pulang. Tolong, ikutlah denganku."

Karena amarahnya sudah reda, sang ayah akhirnya luluh, dan mereka pulang bersama.

Setibanya di rumah, sang ayah berkata, "Pergilah kau jual kapak rusak itu, dan lihat berapa yang bisa kau dapatkan. Aku akan menambah sisanya untuk membayar tetangga."

Sang anak membawa kapak itu ke kota, menuju rumah seorang pandai emas. Pandai emas itu memeriksa, menimbangnya, dan berkata, "Nilainya empat ratus thaler, tetapi aku tidak punya uang sebanyak itu sekarang."

"Berikan saja apa yang kau punya," kata sang anak, "sisanya akan kupinjamkan padamu."

Pandai emas itu memberinya tiga ratus thaler, dan masih berutang seratus.

Sang anak pun pulang, berkata kepada ayahnya, "Ayah, aku sudah mendapatkan uangnya. Tanyakan kepada tetangga berapa harga kapak itu."

"Aku sudah tahu," jawab sang ayah, "satu thaler enam groschen."

"Kalau begitu, bayarlah dua thaler dua belas groschen—itu dua kali lipat dan sudah cukup. Lihatlah, aku punya uang berlimpah," katanya sambil menyerahkan seratus thaler kepada sang ayah. "Ayah takkan pernah kekurangan lagi, hiduplah senyaman yang Ayah mau."

"Ya Tuhan!" seru sang ayah, "dari mana kau mendapatkan semua kekayaan ini?"

Maka sang anak menceritakan bagaimana semua itu terjadi, dan bagaimana ia, dengan percaya pada keberuntungannya, mendapatkan peruntungan besar.

Dengan sisa uangnya, ia kembali ke sekolah tinggi dan terus menimba ilmu. Karena ia dapat menyembuhkan segala luka dengan plesternya, ia pun menjadi tabib paling tersohor di seluruh dunia.

Komentar