KHM 4 - Märchen von einem, der auszog das Fürchten zu lernen (Kisah Seorang yang Mengembara untuk Belajar Rasa Takut)
Seorang ayah memiliki dua orang putra. Yang sulung cerdas dan bijaksana, pandai dalam segala hal. Namun yang bungsu bodoh, tak mampu belajar maupun memahami apa pun. Setiap orang yang memandangnya akan berkata, “Lihatlah anak itu! Ia pasti akan menyusahkan ayahnya kelak!”
Jika ada pekerjaan yang harus dilakukan, si sulunglah yang selalu dipaksa untuk menyelesaikannya. Tetapi bila sang ayah memintanya mengambil sesuatu saat hari telah larut, atau ketika jalan harus melewati kuburan atau tempat seram lainnya, ia akan menjawab, “Ah, tidak, Ayah. Aku tak mau ke sana, tempat itu membuatku merinding!” Sebab ia adalah anak yang penakut.
Atau bila di malam hari, saat api unggun menyala, orang-orang mulai bercerita kisah-kisah menyeramkan hingga membuat bulu kuduk berdiri, para pendengar akan berkata, “Oh, aku sampai merinding!” Si bungsu duduk di pojok ruangan, ikut menyimak, namun tak mengerti apa maksud mereka. “Mereka selalu berkata ‘aku merinding, aku merinding,’ tapi aku tak merasakannya,” pikirnya dalam hati. “Barangkali itu juga semacam keahlian yang tak kuketahui.”
Suatu hari, sang ayah berkata padanya, “Dengarkan, kau yang selalu duduk di pojok. Kau sudah tumbuh tinggi dan kuat, dan kau pun harus belajar sesuatu agar kelak bisa menghidupi dirimu sendiri. Lihatlah kakakmu bekerja! Sementara kau bahkan tak pantas mendapatkan sejumput garam.”
“Baiklah, Ayah,” jawabnya, “aku bersedia belajar sesuatu—sungguh, andai mungkin, aku ingin belajar bagaimana rasanya merinding. Aku sama sekali tak paham soal itu.”
Kakaknya tersenyum saat mendengarnya dan berkata dalam hati, “Ya Tuhan, betapa tololnya adikku ini! Ia takkan berguna seumur hidupnya. Barang siapa hendak menjadi sabit, haruslah bengkok sejak awal.”
Sang ayah menghela napas dan berkata, “Kau akan segera tahu seperti apa rasanya merinding, tapi kau takkan bisa hidup dari keahlian itu.”
Tak lama kemudian, penjaga lonceng gereja (si sexton) berkunjung ke rumah mereka. Ayahnya mengeluhkan putra bungsunya yang sangat lamban dalam segala hal—tak tahu apa-apa dan tak bisa belajar. “Coba bayangkan,” katanya, “ketika kutanya bagaimana ia akan menghidupi dirinya, ia malah berkata ingin belajar merinding.”
“Kalau hanya itu,” jawab sang sexton, “biar dia ikut denganku saja. Akan kuajarkan padanya.”
Sang ayah pun senang, sebab ia berpikir, “Setidaknya anak ini akan sedikit terlatih.”
Maka si bungsu dibawa ke rumah sang sexton dan diberi tugas membunyikan lonceng.
Beberapa hari kemudian, saat tengah malam, sang sexton membangunkannya dan menyuruhnya naik ke menara gereja untuk membunyikan lonceng. “Kau akan segera tahu rasanya merinding,” pikir si sexton diam-diam, lalu ia naik terlebih dahulu dan bersembunyi.
Saat si bungsu sampai di atas menara dan berbalik hendak menarik tali lonceng, ia melihat sesosok bayangan putih berdiri di tangga, tepat di seberang lubang suara.
“Siapa di sana?” teriaknya. Namun sosok itu tidak menjawab dan tidak juga bergerak.
“Jawablah!” serunya, “atau enyahlah dari sana, malam-malam begini kau tak punya urusan berada di sini!”
Sang sexton tetap berdiri diam, tak bergerak sedikit pun, berharap si bungsu akan mengira itu hantu.
Anak itu berseru sekali lagi, “Apa maumu?—jawab kalau kau orang baik-baik, atau akan kulempar kau menuruni tangga!”
Sang sexton berpikir, “Ah, ia hanya menggertak. Tak mungkin ia benar-benar melakukannya,” dan tetap diam, tegak seperti patung.
Namun si bungsu berseru untuk ketiga kalinya, dan ketika ia tetap tidak mendapat jawaban, ia segera menyeruduk sosok itu dan mendorongnya hingga terguling menuruni sepuluh anak tangga, lalu tergeletak di sudut lantai. Setelah itu, ia menarik lonceng seperti biasa, lalu kembali pulang, tidak mengatakan sepatah kata pun, langsung pergi tidur dan tertidur lelap.
Istri si sexton menunggu suaminya lama sekali, namun ia tak kunjung kembali. Akhirnya ia cemas dan membangunkan si bungsu.
“Apakah kau tahu di mana suamiku?” tanyanya. “Ia naik ke menara lebih dulu darimu.”
“Tidak,” jawab si bungsu, “tapi tadi ada seseorang berdiri di dekat lubang suara, di seberang tangga. Karena ia tak menjawab dan tak mau pergi, kupikir ia orang jahat, jadi ku dorong saja dia menuruni tangga. Pergilah dan lihat sendiri apakah itu dia. Sungguh aku akan menyesal kalau memang dia.”
Wanita itu lari ke sana dan menemukan suaminya tergeletak mengerang kesakitan di sudut menara, kakinya patah. Ia membawanya turun, dan sambil menjerit-jerit, ia lari ke rumah ayah si bungsu.
“Putramu,” teriaknya, “telah menyebabkan bencana besar! Ia mendorong suamiku menuruni tangga hingga kakinya patah! Ambillah kembali anak laknat itu dari rumah kami!”
Sang ayah amat terkejut dan segera bergegas ke rumah si sexton. Ia memarahi anaknya, “Apa-apaan ini? Keisengan apa lagi yang kau lakukan? Setan pasti telah membisikkan ini ke kepalamu!”
“Ayah,” jawab si bungsu, “tolong dengarkan dulu. Aku tidak bersalah. Tadi malam ada seseorang berdiri diam di sana seperti orang jahat. Aku tidak tahu siapa dia, dan sudah tiga kali kuminta ia bicara atau pergi.”
“Ah,” kata sang ayah, “kau tak pernah membawa apa-apa selain kesusahan bagiku. Enyahlah dari hadapanku! Aku tak sudi melihatmu lagi!”
“Baiklah, Ayah, dengan senang hati. Tapi biarkan aku menunggu sampai pagi. Setelah itu, aku akan pergi mengembara dan belajar bagaimana rasanya merinding. Setidaknya aku akan tahu satu keahlian yang bisa kugunakan untuk hidup.”
“Pelajarilah apa pun yang kau suka,” kata sang ayah, “aku tak peduli. Ini lima puluh thaler untukmu. Ambillah dan pergilah sejauh mungkin dari sini. Jangan pernah beritahu siapa pun dari mana asalmu, atau siapa ayahmu, sebab aku malu memiliki anak sepertimu.”
“Baik, Ayah. Kalau itu saja permintaan Ayah, aku bisa ingat baik-baik.”
Ketika fajar menyingsing, si bungsu memasukkan lima puluh thaler ke dalam sakunya dan berangkat menyusuri jalan besar, sambil terus-menerus menggumamkan pada dirinya sendiri, “Andai aku bisa merinding! Andai aku bisa merinding!”
Seorang lelaki yang mendengarnya berbicara sendiri pun mendekatinya, dan setelah mereka berjalan agak jauh hingga terlihat tiang gantungan, lelaki itu berkata padanya, “Lihatlah, di sanalah pohon tempat tujuh orang yang menikahi anak perempuan tukang tali digantung, dan kini mereka tengah belajar terbang. Duduklah di bawahnya dan tunggulah hingga malam datang—kau akan segera tahu bagaimana rasanya merinding.”
“Kalau hanya itu yang diperlukan,” jawab si bungsu, “mudah saja dilakukan. Tapi kalau aku belajar merinding secepat itu, maka uang lima puluh thalerku akan menjadi milikmu. Kembalilah besok pagi.”
Maka si bungsu pun pergi ke tiang gantungan itu, duduk di bawahnya, dan menanti malam tiba. Karena merasa kedinginan, ia menyalakan api untuk menghangatkan diri. Namun saat tengah malam, angin bertiup begitu kencang hingga meski ada api, ia tetap tak bisa merasa hangat. Dan ketika angin itu membuat tubuh orang-orang tergantung itu saling bertumbukan, bergoyang ke depan dan ke belakang, ia berpikir, “Aku menggigil di sini di dekat api, tapi betapa lebih parahnya mereka yang bergelantungan di atas sana, betapa dinginnya mereka!”
Merasa iba, ia pun mengangkat tangga, memanjat tiang gantungan, dan menurunkan mereka satu per satu. Kemudian ia menyalakan kembali api yang hampir padam, meniupnya agar menyala lebih besar, lalu menempatkan ketujuh orang itu di sekeliling api agar mereka bisa menghangatkan diri.
Namun mereka duduk diam, tak bergerak sedikit pun, dan api mulai membakar pakaian mereka. Maka ia berkata, “Hati-hatilah, atau akan kugantung kalian lagi.”
Akan tetapi para mayat itu tak mendengar, tetap bungkam, membiarkan kain-kain compang-camping di tubuh mereka dilalap api.
Ia pun menjadi marah dan berkata, “Kalau kalian tidak berhati-hati, aku tak bisa menolong kalian. Aku tidak mau ikut terbakar bersama kalian,” dan ia menggantung mereka kembali satu per satu ke tempat semula.
Setelah itu, ia duduk kembali di dekat apinya dan tertidur.
Keesokan paginya, lelaki yang ditemuinya di jalan datang dan hendak mengambil uang lima puluh thaler itu. “Nah, sudahkah kau tahu bagaimana rasanya merinding?” tanyanya.
“Belum,” jawab si bungsu. “Bagaimana aku bisa tahu? Orang-orang di atas itu tak membuka mulut sedikit pun dan begitu bodohnya sampai pakaian usang mereka pun dibiarkan terbakar.”
Lelaki itu menyadari bahwa ia takkan mendapatkan uangnya hari itu, lalu pergi sambil berkata, “Tak pernah kulihat orang seperti ini sebelumnya.”
Si bungsu pun melanjutkan perjalanannya, dan sekali lagi mulai bergumam, “Ah, andai aku bisa merinding! Ah, andai aku bisa merinding!”
Seorang kusir yang berjalan di belakangnya mendengar gumaman itu dan bertanya, “Siapa kau?”
“Aku tidak tahu,” jawab si bungsu.
Lalu sang kusir bertanya lagi, “Dari mana asalmu?”
“Aku pun tak tahu.”
“Siapa ayahmu?”
“Itu tak boleh kukatakan padamu.”
“Apa yang kau gumamkan terus-menerus?”
“Ah,” jawabnya, “aku sungguh ingin tahu bagaimana rasanya merinding, tapi tak seorang pun bisa mengajariku.”
“Tinggalkan ocehanmu yang bodoh itu,” kata si kusir. “Ayo ikut aku, akan kucarikan tempat untukmu.”
Maka si bungsu pun ikut bersama si kusir, dan menjelang malam mereka tiba di sebuah penginapan, berniat bermalam di sana. Ketika mereka memasuki ruangan, si bungsu berkata cukup keras, “Andai aku bisa merinding! Andai aku bisa merinding!”
Si pemilik penginapan yang mendengarnya tertawa dan berkata, “Kalau itu keinginanmu, ada tempat yang sangat cocok untukmu tak jauh dari sini.”
“Ah, diamlah,” sela sang istri pemilik penginapan. “Sudah banyak orang penasaran yang kehilangan nyawa karena tempat itu. Sayang sekali, kalau sepasang mata seindah itu takkan pernah melihat cahaya lagi.”
Tapi si bungsu berkata, “Betapa pun sulitnya, aku akan belajar, dan memang untuk itulah aku melakukan perjalanan ini.”
Ia terus-menerus mendesak si pemilik penginapan, hingga akhirnya tuan rumah itu berkata bahwa tak jauh dari situ berdiri sebuah kastel berhantu, tempat siapa pun bisa dengan mudah belajar merinding asal bersedia berjaga di dalamnya selama tiga malam. Raja telah berjanji, siapa pun yang berani menginap di sana akan mendapat putrinya sebagai istri, gadis tercantik yang pernah disinari matahari. Harta karun yang besar juga berada di dalam kastel itu, dijaga oleh roh-roh jahat, dan jika harta itu terbebas, si penemu akan menjadi sangat kaya.
Sudah banyak pria yang mencoba masuk ke sana, tapi belum seorang pun yang keluar kembali.
Maka keesokan harinya, si bungsu menghadap Raja dan berkata bahwa jika diizinkan, ia bersedia berjaga tiga malam di kastel berhantu itu. Raja menatapnya, dan karena ia berkenan di mata sang Raja, maka Raja berkata, “Kau boleh meminta tiga benda untuk kau bawa masuk ke kastel, tetapi semuanya harus benda mati.”
Si bungsu menjawab, “Kalau begitu, aku minta api, sebuah mesin pemutar kayu, dan papan pemotong beserta pisaunya.”
Raja memerintahkan agar ketiga benda itu dibawa ke kastel sebelum malam tiba.
Saat malam mulai menjelang, si bungsu pun naik ke dalam kastel, membuat api yang terang di salah satu ruangan, menaruh papan pemotong dan pisau di sebelahnya, lalu duduk di dekat mesin pemutar kayu.
“Ah, andai aku bisa merinding!” katanya. “Tapi sepertinya di sini pun aku takkan belajar.”
Menjelang tengah malam, saat ia hendak mengaduk api dan meniupnya agar menyala lebih terang, tiba-tiba terdengar suara dari sudut ruangan, “Au, miaw! Betapa dinginnya kami!”
“Kalian ini bodoh!” serunya. “Kalau memang kedinginan, duduklah di dekat api dan hangatkan diri kalian.”
Tak lama kemudian, dua ekor kucing besar berwarna hitam melompat masuk dengan satu lompatan dahsyat dan duduk di kedua sisi dirinya, menatap dengan mata menyala merah menyala penuh kemarahan. Setelah beberapa saat mereka menghangatkan tubuh, keduanya berkata,
“Teman, maukah kita bermain kartu?”
“Mengapa tidak?” jawabnya. “Tapi tunjukkan dulu cakarmu.”
Maka kedua kucing itu mengulurkan cakarnya.
“Wah,” katanya, “kuku kalian panjang sekali! Tunggu sebentar, harus kupotong dulu.”
Segera ia mencengkeram leher mereka, meletakkan keduanya di atas papan pemotong, dan menjepit kaki mereka erat-erat. “Sudah kulihat jari-jarimu,” katanya, “dan kini keinginanku bermain kartu pun lenyap.” Ia memukuli mereka hingga mati dan melemparkan bangkai keduanya ke kolam di luar.
Namun ketika ia baru saja selesai membereskan dua makhluk itu dan hendak kembali duduk di dekat apinya, dari setiap lubang dan sudut ruangan datanglah kucing-kucing hitam dan anjing-anjing hitam berantai besi yang menyala merah. Mereka datang semakin banyak hingga akhirnya ia tak bisa bergerak sama sekali. Hewan-hewan itu melolong dengan mengerikan, menyerbu apinya, mencabik-cabiknya, dan mencoba memadamkannya.
Ia memperhatikan mereka sebentar dalam diam, tapi ketika mereka mulai bertindak keterlaluan, ia meraih pisaunya dan berteriak,
“Enyahlah, kalian makhluk najis!”
Ia mulai menyerang mereka dengan pisau itu. Beberapa melarikan diri, sisanya dibunuhnya dan dilempar ke kolam ikan di luar jendela.
Ketika semuanya telah berlalu, ia kembali menghidupkan bara api, meniupnya hingga menyala kembali, dan duduk menghangatkan diri.
Namun matanya kini terasa berat dan ia sangat mengantuk. Ia memandang sekeliling, dan melihat sebuah ranjang besar di pojok ruangan.
“Itu tempat yang cocok untukku,” katanya, lalu ia pun naik ke atas ranjang.
Namun ketika ia baru saja hendak memejamkan mata, ranjang itu mulai bergerak sendiri dan melaju berkeliling seluruh kastel.
“Bagus!” katanya. “Tapi cepat sedikit!”
Ranjang itu pun berderap seperti ditarik enam ekor kuda, melaju naik turun, menabrak ambang pintu dan menuruni anak tangga. Tetapi tiba-tiba—hop, hop!—ranjang itu jungkir balik dan menindihnya seperti gunung.
Namun ia dengan tenang melemparkan bantal dan selimut ke udara, bangkit dari bawahnya, lalu berkata,
“Sekarang siapa pun yang mau, silakan lanjutkan mengemudi!”
Ia pun kembali ke dekat api dan tidur hingga pagi menjelang.
Ketika matahari terbit, sang Raja datang. Ia melihat si bungsu terbaring di lantai dan menyangka roh-roh jahat telah membunuhnya. Maka ia berkata,
“Sayang sekali... padahal pemuda ini rupawan.”
Si bungsu mendengarnya, bangkit, dan berkata,
“Belum sampai ke situ, Yang Mulia!”
Sang Raja terkejut, namun amat gembira, dan bertanya, “Bagaimana nasibmu semalam?”
“Baik sekali,” jawab si bungsu. “Satu malam telah kulewati, dua malam lagi pun pasti akan kulalui.”
Kemudian ia kembali ke penginapan, di mana pemilik penginapan membuka matanya lebar-lebar dan berkata,
“Aku tak menyangka kau akan selamat! Sudahkah kau belajar merinding?”
“Belum,” jawab si bungsu. “Sia-sia saja. Andaikan saja ada yang bisa mengajarkannya padaku.”
Pada malam kedua, ia kembali naik ke kastel tua itu, duduk di dekat apinya, dan seperti biasa mulai menggumamkan,
“Andai aku bisa merinding!”
Ketika tengah malam tiba, terdengar suara gaduh dan gemuruh, seperti sesuatu yang besar berguling dan terjatuh; mula-mula suaranya pelan, namun lama-lama semakin keras. Lalu semuanya hening sejenak, sampai akhirnya dengan jeritan yang memekakkan telinga, separuh tubuh seorang manusia jatuh dari cerobong dan terhempas di hadapannya.
“Hoi!” serunya. “Tubuh ini pasti punya pasangannya. Ini terlalu sedikit!”
Maka kegaduhan itu pun dimulai kembali, terdengar lolongan dan deru dari segala arah, dan separuh tubuh yang lain pun jatuh ke lantai. “Tunggu,” katanya, “akan kupanaskan api ini sedikit untukmu.”
Setelah melakukannya dan menoleh kembali, kedua potongan tubuh itu telah menyatu, dan kini seorang lelaki menakutkan duduk di tempatnya semula.
“Itu bukan bagian dari kesepakatan,” kata si bungsu. “Bangku itu milikku.”
Si lelaki besar itu mencoba mendorongnya, namun ia tidak membiarkannya. Ia mendorong balik sekuat tenaga dan merebut kembali tempat duduknya.
Tak lama kemudian, lebih banyak orang bermunculan, satu per satu turun dari atas. Mereka membawa sembilan kaki mayat dan dua tengkorak, lalu menyusunnya dan bermain nine-pins dengan mereka..
Si bungsu juga ingin ikut bermain dan berkata, “Hei, bolehkah aku bergabung?”
“Tentu, asal kau punya uang,” jawab mereka.
“Uangku cukup,” balasnya, “tapi bola kalian kurang bundar.”
Ia mengambil kedua tengkorak itu, membawanya ke mesin pemutar, dan menghaluskannya sampai bulat sempurna.
“Nah, sekarang akan lebih baik bergulirnya!” katanya. “Ayo, sekarang baru seru!”
Ia bermain bersama mereka dan kehilangan beberapa koin, tapi ketika lonceng berbunyi menandakan pukul dua belas tengah malam, semuanya lenyap dari pandangan.
Ia pun berbaring dan tidur dengan tenang.
Keesokan paginya sang Raja datang dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu kali ini?”
“Aku bermain nine-pins,” jawab si bungsu, “dan kehilangan beberapa koin.”
“Lalu, apakah kau sudah merinding?”
“Ah, tidak,” katanya. “Aku bersenang-senang. Andai saja aku tahu bagaimana rasanya merinding!”
Pada malam ketiga, ia kembali duduk di bangkunya dan berkata dengan sedih,
“Andai aku bisa merinding!”
Ketika malam semakin larut, enam lelaki tinggi memasuki ruangan sambil membawa sebuah peti mati.
“Ha, ha!” serunya, “itu pasti sepupuku yang meninggal beberapa hari lalu.”
Ia memberi isyarat dengan jari dan berseru, “Mari, sepupu kecil, mari!”
Mereka meletakkan peti mati itu di tanah. Ia pun menghampirinya dan membuka tutupnya, dan di dalamnya terbaringlah seorang lelaki yang telah mati. Ia menyentuh wajah si mayat, dingin seperti es.
“Tunggu,” katanya, “akan kucoba menghangatkanmu sedikit.”
Ia pergi ke api, menghangatkan tangannya, dan meletakkannya di wajah si mayat, namun itu tidak membantu.
Lalu ia mengangkat tubuh itu, mendekat ke api, dan meletakkannya di dadanya, menggosok-gosok lengannya agar darahnya mengalir kembali.
Namun itu pun sia-sia.
Maka ia berpikir, “Bila dua orang berbaring bersama di ranjang, mereka akan saling menghangatkan.”
Lalu ia menggendong si mayat ke tempat tidur, menutupi tubuhnya, dan berbaring di sampingnya.
Tak lama kemudian, tubuh si mayat menjadi hangat dan mulai bergerak.
“Nah, sepupu kecil, bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menghangatkanmu?” katanya.
Namun si mayat mendadak duduk dan berteriak, “Sekarang akan kubunuh kau!”
“Apa!” serunya. “Begitukah caramu berterima kasih? Kembali kau ke peti itu!”
Ia mengangkat tubuh si mayat, melemparkannya kembali ke dalam peti, dan menutup tutupnya.
Kemudian enam lelaki datang dan membawanya pergi.
“Aku tetap tak bisa merinding,” katanya. “Selama aku hidup, tampaknya aku takkan pernah bisa belajar.”
Lalu masuklah seorang lelaki yang lebih tinggi dari siapa pun, sosok yang sangat menakutkan. Ia sudah tua, berjanggut putih panjang.
“Kau makhluk hina,” serunya, “sebentar lagi kau akan tahu bagaimana rasanya merinding, sebab kau akan mati!”
“Tidak secepat itu,” jawab si bungsu. “Jika aku harus mati, aku juga harus punya suara dalam urusannya.”
“Akan kutangkap kau sekarang!” bentak makhluk itu.
“Pelan-pelan, jangan bicara besar dulu. Aku sekuat kau—mungkin bahkan lebih kuat.”
“Kita lihat saja,” kata si lelaki berjanggut. “Jika kau memang lebih kuat, akan kubiarkan kau hidup. Ayo, kita buktikan.”
Ia membawanya menyusuri lorong gelap menuju bengkel pandai besi. Di sana, ia mengambil sebilah kapak dan dengan satu ayunan membelah landasan besi hingga tertanam dalam tanah.
“Aku bisa lebih hebat dari itu,” kata si bungsu, lalu menuju landasan satunya.
Sementara lelaki tua itu berdiri dekatnya ingin menyaksikan, janggut panjangnya menggantung ke bawah. Si bungsu segera mengayunkan kapaknya, membelah landasan dan menjepit janggut lelaki tua itu bersamaan dengan logam.
“Nah, kini aku yang memegang kendali,” kata si bungsu. “Kau yang akan mati.”
Lalu ia mengambil sebatang besi dan memukuli makhluk itu sampai ia meringis kesakitan dan memohon agar dihentikan. “Berhentilah! Akan kuberi kau kekayaan besar!”
Si bungsu melepaskan kapaknya dan membebaskannya.
Lelaki tua itu membawanya kembali ke dalam kastel, menuruni tangga ke ruang bawah tanah, dan menunjukkan padanya tiga peti penuh emas.
“Yang satu untuk kaum miskin,” katanya. “Yang satu untuk Raja. Dan yang satu lagi untukmu.”
Tepat saat itu lonceng berdentang menandakan pukul dua belas tengah malam, dan roh itu pun lenyap.
Si bungsu kini berada dalam kegelapan. “Aku pasti bisa menemukan jalan keluar,” katanya, dan meraba-raba sekeliling, akhirnya menemukan jalan kembali ke ruangan atas, dan tidur di dekat api.
Keesokan paginya sang Raja datang dan bertanya,
“Sekarang kau pasti sudah tahu bagaimana rasanya merinding?”
“Belum juga,” jawab si bungsu. “Apa sebenarnya itu? Sepupuku datang ke sini, lalu lelaki berjanggut menunjukkan kepadaku banyak sekali uang di ruang bawah, tapi tak seorang pun menjelaskan apa itu merinding.”
“Kalau begitu,” kata sang Raja, “kau telah membebaskan kastel itu, dan akan menikahi putriku.”
“Itu semua baik dan indah,” jawab si bungsu. “Tapi aku masih saja tidak tahu apa itu merinding.”
Lalu harta karun pun dibawa ke atas, dan pernikahan pun dilangsungkan. Namun meski sang pemuda mencintai istrinya, dan hidup dalam kebahagiaan, ia tetap selalu berkata,
“Andai aku bisa merinding! Andai aku bisa merinding!”
Akhirnya, istrinya pun mulai kesal karenanya. Salah seorang dayangnya berkata,
“Aku tahu cara menyembuhkan suamimu. Ia akan belajar juga akhirnya bagaimana rasanya merinding.”
Ia lalu pergi ke sungai yang mengalir melewati taman, dan meminta satu ember penuh ikan kecil yang masih hidup. Pada malam hari, ketika sang raja muda tengah tidur lelap, sang istri menarik selimut dari tubuhnya dan menyiramkannya dengan air dingin penuh ikan yang menggeliat-geliat.
Ia terbangun dan berteriak,
“Oh, apa ini yang membuatku merinding? Apa ini yang membuatku merinding, istriku tersayang? Ah! Sekarang aku tahu rasanya merinding!”
Komentar
Posting Komentar