KHM 56 - Der Liebste Roland (Kekasih Tercinta Roland)

 

Kekasih Tercinta Roland

Pada suatu masa, hiduplah seorang perempuan yang benar-benar seorang penyihir. Ia memiliki dua orang anak perempuan: yang satu buruk rupa dan berhati jahat — anak kandungnya sendiri, yang amat ia sayangi; dan yang satu lagi cantik parasnya serta berhati baik — anak tirinya, yang justru ia benci.

Suatu hari, si anak tiri memiliki sebuah celemek yang elok, dan anak kandung penyihir itu sangat menginginkannya. Ia menjadi iri hati dan berkata kepada ibunya bahwa ia harus, dan akan, mendapatkan celemek itu.

“Diamlah, anakku,” kata si perempuan tua, “kau pasti akan mendapatkannya. Saudara tirimu itu sudah lama pantas mati. Malam ini, saat ia terlelap, aku akan datang dan memotong kepalanya. Kau hanya perlu memastikan dirimu berada di sisi ranjang yang jauh dari tepi, dan dorong dia ke depan.”

Celakalah nasib gadis malang itu, andai saja pada saat itu ia tidak sedang berdiri di sudut ruangan dan mendengar setiap kata. Sepanjang hari ia tak berani keluar rumah, dan ketika tiba waktunya tidur, anak perempuan penyihir itu berbaring lebih dulu di sisi ranjang yang jauh dari tepi. Namun, ketika ia telah terlelap, si anak tiri mendorongnya perlahan ke tepi, dan mengambil tempat di bagian belakang, dekat dengan dinding.

Tengah malam, sang perempuan tua datang menyelinap. Di tangan kanannya ia menggenggam sebilah kapak, dan dengan tangan kirinya ia meraba untuk memastikan siapa yang tidur di tepi ranjang. Setelah yakin, ia menggenggam kapak dengan kedua tangannya dan menebas kepala anaknya sendiri. Setelah perempuan tua itu pergi, si gadis bangkit dan pergi ke rumah kekasihnya, seorang pemuda bernama Roland, lalu mengetuk pintunya.

Ketika Roland keluar, ia berkata, “Dengarlah aku, Roland tercinta, kita harus segera melarikan diri. Ibu tiriku berniat membunuhku, tetapi justru menebas kepala anaknya sendiri. Saat fajar tiba dan ia melihat apa yang telah diperbuatnya, kita pasti binasa.”

“Tetapi,” kata Roland, “sebaiknya kau lebih dulu mengambil tongkat sihirnya, sebab jika ia mengejar kita, kita takkan bisa lolos tanpa itu.”

Maka si gadis mengambil tongkat sihir itu, lalu memungut kepala gadis yang telah mati, dan meneteskan tiga tetes darah ke tanah — satu di depan ranjang, satu di dapur, dan satu di tangga. Setelah itu ia bergegas pergi bersama kekasihnya.

Keesokan paginya, saat si penyihir tua bangun, ia memanggil anaknya untuk memberikan celemek yang dijanjikan, namun tak ada jawaban.

“Di mana kau?” serunya.

“Di sini, di tangga, aku sedang menyapu,” jawab tetes darah pertama.

Si perempuan tua keluar, tetapi tak melihat siapa pun di tangga. Ia memanggil lagi, “Di mana kau?”

“Di sini, di dapur, aku sedang menghangatkan diri,” jawab tetes darah kedua.

Ia masuk ke dapur, namun tak menemukan siapa pun. Maka ia berseru sekali lagi, “Di mana kau?”

“Ah, di sini, di ranjang, aku sedang tidur,” jawab tetes darah ketiga.

Ia pun masuk ke kamar dan menuju ranjang. Dan apa yang dilihatnya? Anak kandungnya sendiri, dengan kepala terpenggal, berlumuran darah. Murka pun meledak di hati penyihir tua itu. Ia melompat ke jendela, dan dari sana ia dapat memandang jauh ke penjuru dunia. Terlihatlah olehnya anak tirinya bergegas pergi bersama kekasihnya, Roland.

“Itu tak akan menolong kalian,” teriaknya. “Meski kalian sudah jauh, kalian takkan bisa kabur dariku!”

Lalu ia mengenakan sepatu dua belas kilometernya, yang dapat menempuh jarak sejam berjalan hanya dalam sekali langkah. Tak lama kemudian, ia berhasil menyusul mereka.

Namun ketika si gadis melihat perempuan tua itu melangkah dengan sepatu ajaib dua belas kilometer ke arah mereka, ia segera mengubah Roland menjadi sebuah danau, dan dirinya sendiri menjadi seekor bebek yang berenang di tengah-tengahnya.

Sang penyihir berdiri di tepi danau, menabur remah-remah roti, dan mencoba segala cara untuk memancing si bebek mendekat. Tetapi si itik tak mau terperdaya, sehingga menjelang malam, perempuan tua itu terpaksa pulang dengan tangan hampa.

Begitu ia pergi, si gadis dan Roland kembali ke wujud semula, lalu berjalan terus sepanjang malam hingga fajar menjelang.

Ketika fajar menyingsing, sang gadis mengubah dirinya menjadi bunga yang elok, berdiri di tengah semak berduri, dan Roland menjadi seorang pemain biola.

Tak lama kemudian, penyihir tua itu kembali melangkah dengan sepatu ajaib dua belas kilometer ke arah mereka. Ia berkata kepada si pemusik, “Wahai pemusik yang baik hati, bolehkah aku memetik bunga yang indah itu untuk diriku sendiri?”

“Oh, tentu saja,” jawabnya, “akan kumainkan biola untukmu sementara kau memetiknya.”

Dengan tergesa-gesa, sang penyihir merangkak masuk ke sela-sela duri, hendak meraih bunga itu, sebab ia tahu benar siapa sebenarnya bunga tersebut. Namun begitu ia membungkuk untuk memetiknya, Roland mulai memainkan biolanya, dan mau tak mau ia terpaksa menari.

Semakin cepat irama yang dimainkan, semakin liar dan tinggi lompatan yang harus ia buat. Duri-duri itu mencabik pakaiannya, menusuk kulitnya, dan membuatnya berdarah. Roland tak berhenti bermain, hingga akhirnya penyihir itu menari sampai roboh dan terkapar tak bernyawa di tanah.

Ketika mereka telah selamat, Roland berkata, “Sekarang aku akan pergi menemui ayahku dan menyiapkan pernikahan kita.”

“Kalau begitu, sementara ini aku akan tinggal di sini dan menunggumu,” jawab sang gadis. “Agar tak seorang pun mengenaliku, aku akan mengubah diriku menjadi sebuah batu patok merah di ladang.”

Roland pun berangkat, dan sang gadis berdiri di sana, membisu, sebagai sebuah patok merah, menanti kekasihnya. Namun ketika Roland tiba di rumah, ia terjerat bujuk rayu seorang gadis lain, yang begitu mempengaruhinya hingga ia melupakan tunangannya.

Gadis malang itu tetap berdiri di ladang dalam wujud batu selama waktu yang lama. Tetapi ketika ia menyadari bahwa Roland tak kunjung kembali, kesedihan pun menyelimutinya. Lalu ia berubah menjadi sebuah bunga dan berpikir, “Pasti akan ada seseorang yang lewat di sini dan menginjakku.”

Namun, kebetulan seorang gembala sedang menggembalakan dombanya di ladang itu. Ia melihat bunga tersebut, dan karena kecantikannya yang memikat, ia memetiknya, membawanya pulang, dan menyimpannya di dalam peti kayunya.

Sejak saat itu, hal-hal aneh mulai terjadi di rumah sang gembala. Setiap kali ia bangun pagi, semua pekerjaan rumah telah selesai—lantai sudah disapu, meja dan bangku telah dibersihkan, api di perapian sudah menyala, dan air sudah ditimba. Lalu, ketika ia pulang pada waktu siang, meja telah terhidang dan makan siang yang lezat menantinya.

Ia tak dapat mengerti bagaimana semua itu bisa terjadi, sebab ia tak pernah melihat seorang pun di rumahnya, dan mustahil ada yang dapat bersembunyi di sana. Meskipun senang dengan pelayanan yang begitu baik, pada akhirnya ia diliputi rasa heran bercampur takut. Maka pergilah ia kepada seorang perempuan bijak dan meminta nasihatnya.

Perempuan bijak itu berkata, “Pasti ada sihir di balik semua ini. Dengarkan baik-baik di suatu pagi yang sangat dini, apakah ada sesuatu yang bergerak di dalam kamar. Apa pun yang kau lihat, tak peduli wujudnya seperti apa, segera lemparkan kain putih di atasnya, dan sihir itu akan terpatahkan.”

Sang gembala melakukan seperti yang diperintahkan. Keesokan paginya, tepat saat fajar mulai menyingsing, ia melihat petinya terbuka, dan bunga itu keluar dari dalamnya. Dengan cepat ia melompat ke arahnya, lalu melemparkan kain putih ke atasnya. Seketika itu juga, sihir pun terpatahkan, dan di hadapannya berdirilah seorang gadis jelita. Gadis itu mengaku bahwa dialah yang selama ini menjadi bunga itu, dan bahwa selama ini pula ia yang mengurus rumah sang gembala. Ia pun menceritakan seluruh kisahnya.

Karena ia berkenan di hati sang gembala, laki-laki itu pun memintanya menjadi istri. Namun, ia menjawab, “Tidak,” sebab ia ingin tetap setia kepada kekasihnya, Roland, meskipun pemuda itu telah meninggalkannya. Tetapi ia berjanji untuk tidak pergi, dan akan tetap tinggal untuk mengurus rumah sang gembala.

Kini tibalah saatnya pernikahan Roland akan dirayakan. Menurut adat lama di negeri itu, diumumkanlah bahwa semua gadis harus hadir dan menyanyi untuk menghormati mempelai. Ketika gadis setia itu mendengar kabar tersebut, hatinya diliputi duka begitu dalam hingga ia merasa seolah hatinya akan hancur. Ia tidak ingin pergi ke sana, namun para gadis lain datang dan membawanya serta.

Ketika gilirannya untuk bernyanyi tiba, ia mundur ke belakang hingga akhirnya hanya ia seorang yang belum maju. Maka ia tak dapat lagi menolak. Namun begitu ia mulai bernyanyi, dan suaranya sampai ke telinga Roland, pemuda itu melompat berdiri dan berseru, “Aku kenal suara itu! Dialah mempelai yang sejati! Aku takkan memilih yang lain!”

Segala yang pernah ia lupakan, yang telah lenyap dari ingatannya, mendadak kembali lagi memenuhi hatinya. Maka gadis setia itu pun menikah dengan kekasihnya, Roland. Dan berakhirlah segala duka, bergantilah ia dengan sukacita.

Komentar