KHM 36 - Tischchen deck dich, Goldesel und Knüppel aus dem Sack (Meja Ajaib, Keledai Emas, dan Pentungan dari Karung)

 

Meja Ajaib, Keledai Emas, dan Pentungan dari Karung

Pada suatu masa, hiduplah seorang penjahit yang mempunyai tiga orang anak laki-laki, dan hanya seekor kambing. Namun karena kambing itulah yang menghidupi mereka semua dengan susunya, ia harus diberi makanan yang baik dan dibawa setiap hari ke padang rumput.

Maka ketiga anak itu bergiliran membawanya ke tempat gembalaan.

Suatu kali, giliran si sulung. Ia membawa kambing itu ke halaman gereja, tempat tumbuhnya rumput dan herba terbaik, lalu membiarkannya makan dan berlarian di sana. Ketika malam tiba dan sudah waktunya pulang, ia bertanya,
“Wahai kambing, apakah engkau sudah kenyang?”

Kambing itu menjawab:
“Aku sudah makan begitu banyak,
Tak sehelai daun pun lagi ‘kan kusentuh, mbek! mbek!”

“Mari pulang kalau begitu,” kata si sulung. Ia pun memegang tali di leher kambing itu, menuntunnya ke kandang, lalu mengikatnya dengan erat.

“Nah,” kata sang penjahit tua, “apakah kambing itu sudah makan cukup seperti seharusnya?”
“Oh,” jawab si sulung, “dia sudah makan begitu banyak, tak sehelai daun pun mau disentuhnya lagi.”

Namun sang ayah ingin memastikan sendiri. Ia pun turun ke kandang, mengelus si kambing kesayangannya, dan bertanya,
“Wahai kambing, apakah engkau sudah puas?”

Kambing itu menjawab:
“Bagaimana aku bisa puas?
Di antara nisan aku meloncat ke sana kemari,
Tak kutemukan makanan, jadi aku kelaparan, mbek! mbek!”

“Apa yang kudengar ini?” seru si penjahit, lalu ia berlari naik ke atas dan berkata pada anaknya,
“Hoi, pembohong! Katamu kambing itu sudah kenyang, padahal kau membiarkannya kelaparan!”

Dengan murka, ia meraih meteran jahit dari dinding dan mengusir anak sulungnya dengan pukulan.

Keesokan harinya, giliran anak kedua. Ia membawa kambing itu ke pagar kebun, tempat tumbuhnya herba-herba terbaik, dan kambing itu pun menghabiskannya sampai tandas. Saat malam tiba dan ia hendak pulang, ia bertanya,
“Wahai kambing, apakah engkau sudah kenyang?”

Kambing itu menjawab:
“Aku sudah makan begitu banyak,
Tak sehelai daun pun lagi ‘kan kusentuh, mbek! mbek!”

“Mari pulang kalau begitu,” kata si anak kedua. Ia menuntunnya pulang dan mengikatnya di kandang.

“Nah,” tanya sang penjahit tua, “apakah kambing itu sudah makan cukup seperti seharusnya?”
“Oh,” jawab si anak kedua, “dia sudah makan begitu banyak, tak sehelai daun pun mau disentuhnya lagi.”

Namun sang ayah tidak mempercayainya. Ia pun turun ke kandang dan berkata,
“Wahai kambing, apakah engkau sudah kenyang?”

Kambing itu menjawab:
“Bagaimana aku bisa puas?
Di antara nisan aku meloncat ke sana kemari,
Tak kutemukan makanan, jadi aku kelaparan, mbek! mbek!”

“Makhluk durhaka!” seru si penjahit, “menelantarkan hewan sebaik ini sampai kelaparan.” Ia pun berlari ke atas dan mengusir anak keduanya dari rumah dengan meteran jahit .

Kini giliran anak bungsu. Ia ingin melakukan tugasnya sebaik mungkin. Ia mencari semak dengan daun-daun terbaik dan membiarkan kambing itu melahapnya. Saat malam tiba dan ia hendak pulang, ia bertanya,
“Wahai kambing, apakah engkau sudah kenyang?”

Kambing itu menjawab:
“Aku sudah makan begitu banyak,
Tak sehelai daun pun lagi ‘kan kusentuh, mbek! mbek!”

“Mari pulang kalau begitu,” kata si bungsu. Ia menuntunnya ke kandang dan mengikatnya.

“Nah,” tanya sang penjahit tua, “apakah kambing itu sudah mendapat makanan yang cukup?”
“Dia sudah makan begitu banyak, tak sehelai daun pun mau disentuhnya lagi,” jawab si bungsu

Namun sang ayah tetap tidak percaya. Ia turun ke kandang dan bertanya,
“Wahai kambing, apakah engkau sudah kenyang?”

Si hewan jahat itu menjawab:
“Bagaimana aku bisa puas?
Di antara nisan aku meloncat ke sana kemari,
Tak kutemukan daun, jadi aku kelaparan, mbek! mbek!”

“Oh, keturunan para pembohong!” seru sang penjahit. “Sama jahat dan lalainya kalian semua! Kalian tak akan memperdaya aku lagi.”

Murka menguasainya, ia berlari ke atas dan menghajar anak bungsunya dengan meteran jahit hingga si anak kabur keluar rumah.

Kini si penjahit tua tinggal sendirian bersama kambingnya.

Keesokan paginya ia turun ke kandang, membelai kambing itu, dan berkata,
“Kemarilah, hewan kecil kesayanganku, kali ini aku sendiri yang akan membawamu makan.”

Ia menuntunnya dengan tali, membawanya ke semak hijau, rerumputan liar, dan segala tumbuhan lezat yang disukai kambing. “Nah, di sini engkau boleh makan sepuasnya,” ujarnya, lalu membiarkannya merumput hingga senja.

Saat itu ia bertanya,
“Wahai kambing, apakah engkau sudah kenyang?”

Kambing itu menjawab:
“Aku sudah makan begitu banyak,
Tak sehelai daun pun lagi ‘kan kusentuh, mbek! mbek!”

“Mari pulang kalau begitu,” kata sang penjahit. Ia menuntunnya pulang dan mengikatnya di kandang.
Namun ketika hendak pergi, ia menoleh sekali lagi dan bertanya,
“Nah, apakah kali ini engkau benar-benar puas?”

Tetapi kambing itu tidak berlaku lebih baik padanya, dan berkata:
“Bagaimana aku bisa puas?
Di antara nisan aku meloncat ke sana kemari,
Tak kutemukan daun, jadi aku kelaparan, mbek! mbek!”

Mendengar itu, sang penjahit terperanjat, dan menyadari bahwa ia telah mengusir ketiga anaknya tanpa alasan.

“Tunggu, makhluk tak tahu berterima kasih!” serunya. “Bukan hanya akan kuusir engkau, akan kutandai dirimu agar tak berani lagi menampakkan wajah di hadapan para penjahit terhormat.”

Dengan tergesa ia naik ke atas, mengambil pisau cukurnya, mengoleskan sabun di kepala si kambing, dan mencukurnya licin seperti telapak tangan. Dan karena meteran jahit terlalu baik untuknya, sang penjahit mengambil cambuk kuda dan memukulnya keras-keras hingga kambing itu lari terbirit-birit.

Sang penjahit tua kini benar-benar sendirian di rumahnya, diliputi kesedihan, dan sangat ingin anak-anaknya kembali. Namun tak seorang pun tahu ke mana mereka pergi.

Anak sulung telah mengabdi sebagai murid pada seorang tukang kayu, bekerja dengan rajin dan tekun tanpa lelah. Ketika tiba waktunya untuk menempuh perjalanan sebagai pekerja keliling, gurunya menghadiahinya sebuah meja kecil. Meja itu tampak biasa saja, terbuat dari kayu sederhana, tetapi memiliki satu keistimewaan: jika seseorang meletakkannya dan berkata, “Meja kecil, bentangkanlah dirimu,” maka seketika meja itu akan tertutup kain putih yang bersih, lengkap dengan piring, pisau, garpu, serta hidangan daging rebus dan panggang sebanyak yang dapat ditampungnya. Sebuah gelas besar berisi anggur merah berkilau turut hadir, membuat hati siapa pun yang melihatnya menjadi gembira.

Sang pemuda berpikir, “Dengan ini aku tak akan pernah kekurangan seumur hidupku,” dan ia pun berkeliling dunia dengan riang, tak perlu mengkhawatirkan apakah sebuah penginapan baik atau buruk, atau apakah ada makanan di sana atau tidak. Bila ia mau, ia bahkan tak masuk ke penginapan sama sekali, melainkan berhenti di tanah lapang, di hutan, atau di padang rumput — di mana pun ia kehendaki. Ia hanya menurunkan meja kecilnya dari punggung, meletakkannya di hadapan, dan berkata, “Bentangkanlah dirimu,” lalu segala hidangan yang diinginkan hatinya akan muncul.

Akhirnya, ia tergerak untuk pulang menemui ayahnya, yang kini pasti sudah mereda amarahnya dan mau menerimanya kembali bersama meja ajaib itu.

Dalam perjalanan pulang, suatu malam ia tiba di sebuah penginapan yang penuh dengan tamu. Mereka menyambutnya, mengajaknya duduk dan makan bersama, sebab jika tidak, katanya, ia akan kesulitan mendapatkan makanan.

“Tidak,” jawab tukang kayu itu, “aku tak ingin mengurangi jatah makanan kalian. Lebih baik kalian semua menjadi tamuku.”

Mereka tertawa, mengira ia bergurau. Tetapi ia mengambil meja kayunya, meletakkannya di tengah ruangan, dan berkata, “Meja kecil, bentangkanlah dirimu.” Seketika meja itu tertutup kain putih, penuh dengan hidangan lezat yang bahkan sang pemilik penginapan takkan sanggup menyediakannya, dan aromanya pun menguar menggoda hidung para tamu.

“Silakan, sahabat-sahabatku,” kata tukang kayu itu.

Ketika mereka melihat ia sungguh-sungguh, mereka pun tak menunggu diminta dua kali. Mereka mendekat, menghunus pisau masing-masing, dan menyantap hidangan itu dengan lahap. Yang paling membuat mereka takjub adalah, setiap kali sebuah piring kosong, piring baru yang penuh akan muncul dengan sendirinya di tempatnya.

Sang pemilik penginapan berdiri di sudut, mengamati semuanya, tak tahu harus berkata apa. Dalam hatinya ia berpikir, “Seandainya aku punya juru masak seperti ini di dapurku, alangkah bergunanya.”

Tukang kayu itu dan para tamunya bersenang-senang hingga larut malam. Akhirnya mereka tidur, dan si pemuda pun berbaring, menyandarkan meja ajaibnya di dinding.

Namun si pemilik penginapan tak dapat tidur. Pikirannya terus-menerus tertuju pada meja itu. Ia teringat ada sebuah meja tua di gudang yang mirip sekali dengan milik sang tukang kayu. Diam-diam ia mengambilnya, lalu menukar meja tersebut dengan meja ajaib itu.

Keesokan paginya, sang tukang kayu membayar tempat tidurnya, memanggul meja yang ia kira masih ajaib itu, dan melanjutkan perjalanan, tak sedikit pun curiga bahwa ia kini membawa meja palsu.

Menjelang siang, ia sampai di rumah ayahnya, yang menyambutnya dengan gembira.

“Wahai anakku, apa yang telah kau pelajari?” tanya sang penjahit.

“Ayah, aku kini seorang tukang kayu,” jawabnya.

“Itu pekerjaan yang baik,” kata ayahnya. “Apa yang kau bawa pulang dari masa belajarmu?”

“Benda terbaik yang kubawa pulang adalah meja kecil ini,” jawab si anak.

Sang penjahit memeriksa meja itu dari segala sisi dan berkata, “Mejanya bukan karya agung. Meja tua ini tampak jelek.”

“Ah, tapi ini meja yang dapat menyediakan hidangan sendiri,” kata anaknya. “Bila aku meletakkannya dan menyuruhnya menyiapkan hidangan, meja ini akan penuh dengan santapan paling lezat, dan juga anggur yang menyenangkan hati. Ajaklah semua kerabat dan sahabat kita, agar mereka dapat bersantap dan bergembira, sebab meja ini akan memberikan apa saja yang mereka perlukan.”

Ketika semua kerabat berkumpul, ia meletakkan meja itu di tengah ruangan dan berkata, “Meja kecil, bentangkanlah dirimu.”

Namun meja itu tetap diam, tak menampakkan sedikit pun kemauan, dan sama kosongnya seperti meja biasa yang tak mengerti bahasa manusia.

Barulah si tukang kayu malang itu sadar bahwa mejanya telah ditukar. Malu pun menyelimutinya karena harus berdiri di sana seperti seorang pembohong. Para kerabat menertawakannya, lalu pulang tanpa makan atau minum sedikit pun.

Sang penjahit kembali mengambil jarum-jarumnya dan menjahit seperti biasa, sementara anaknya pergi mencari majikan baru di bidang pekerjaannya.

Anak kedua telah pergi kepada seorang tukang giling dan menjadi muridnya. Ketika masa belajarnya berakhir, sang guru berkata, “Karena engkau telah berkelakuan sedemikian baik, kuberikan kepadamu seekor keledai yang aneh, yang sama sekali tidak menarik gerobak dan tidak membawa karung.”

“Untuk apa ia dipergunakan, kalau begitu?” tanya murid muda itu.

“Ia menjatuhkan emas dari mulutnya,” jawab si tukang giling. “Jika engkau menempatkannya di atas kain dan mengucapkan ‘Bricklebrit,’ binatang baik itu akan menjatuhkan kepingan-kepingan emas untukmu.”

“Itu memang hal yang indah,” kata murid itu, lalu ia mengucapkan terima kasih kepada tuannya dan pergi mengembara ke dunia. Ketika ia memerlukan emas, ia hanya perlu mengatakan “Bricklebrit” kepada keledainya, dan hujan kepingan emas pun turun, sehingga yang harus dilakukannya hanyalah memungutnya dari tanah. Ke manapun ia pergi, yang terbaik dari segala sesuatu sudah cukup baginya, dan yang lebih mahal malah lebih baik lagi, karena dompetnya selalu penuh.

Setelah beberapa lama menjelajah dunia, ia berpikir, “Aku harus mencari ayahku; jika aku pulang kepadanya dengan keledai emas ini, ia akan melupakan amarahnya dan menerimaku dengan baik.”

Kebetulan ia sampai pada penginapan yang sama tempat meja saudaranya dulu ditukar. Ia menuntun keledainya dengan kekang, dan pemilik penginapan hendak mengambil binatang itu darinya dan menambatkannya, tetapi murid muda itu berkata, “Janganlah susah payah, aku akan membawa kudaku yang kelabu ke kandang dan menambatkannya sendiri juga, sebab aku harus tahu di mana posisinya.”

Hal itu mengejutkan pemilik penginapan, dan ia berpikir bahwa orang yang harus menjaga keledainya sendiri tidak mungkin punya banyak harta; tetapi ketika orang asing itu memasukkan tangan ke sakunya dan mengeluarkan dua keping emas, serta mengatakan agar disediakan sesuatu yang baik untuknya, pemilik penginapan tercengang dan berlari mencari yang terbaik yang dapat ia sediakan.

Setelah makan, tamu itu menanyakan berapa yang harus dibayar. Pemilik penginapan tidak melihat mengapa ia tidak boleh menggandakan tagihannya, dan berkata murid itu harus memberi dua keping emas lagi. Ia meraba sakunya, tetapi emasnya sudah habis.

“Tunggulah sebentar, tuan pemilik penginapan,” katanya, “aku akan pergi mengambil uang;” namun ia membawa telapak meja itu bersamanya. Pemilik penginapan tidak mengerti maksudnya, dan karena penasaran, mengintai setelahnya; ketika tamu mengunci pintu kandang, ia mengintip melalui lubang yang ditinggalkan oleh simpul pada kayu.

Orang asing itu menghamparkan kain itu di bawah binatangnya dan berseru, “Bricklebrit,” dan seketika binatang itu mulai menjatuhkan kepingan-kepingan emas, sehingga benar-benar seperti hujan uang berguguran ke tanah. “Wah, ya ampun,” kata pemilik penginapan, “koin emas bisa dengan cepat ‘dikeluarkan’ di situ! Memiliki kantong seperti itu bukanlah hal buruk.” Tamu itu membayar tagihannya dan pergi tidur; namun pada malam hari pemilik penginapan menyelinap turun ke kandang, membawa pergi si ‘penghasil koin’ itu, dan menambatkan seekor keledai lain sebagai penggantinya. Pagi-pagi berikutnya murid itu berangkat dengan keledainya, dan mengira bahwa ia masih memiliki keledai emasnya.

Menjelang siang ia sampai ke rumah ayahnya, yang bergembira melihatnya kembali dan menyambutnya dengan sukacita. “Anakku, apa yang telah kaulakukan pada dirimu?” tanya si tua.

“Seorang tukang giling, ayah,” jawabnya.

“Apa yang kaubawa pulang dari pengembaraanmu?”

“Tak ada selain seekor keledai.”

“Keledai sudah cukup banyak di sini,” kata sang ayah, “aku lebih suka seekor kambing yang baik.”

“Memang,” jawab si anak, “tetapi ini bukan keledai biasa, melainkan keledai emas; bila aku mengucapkan ‘Bricklebrit,’ binatang baik itu membuka mulutnya dan menjatuhkan selembar penuh kepingan emas. Panggillah semua kerabat kita kemari, dan akan kuubah mereka menjadi orang kaya.”

“Itu cocok bagiku,” kata sang penjahit, “karena dengan begitu aku tak perlu lagi menyiksa diri dengan jarum,” lalu ia segera berlari memanggil para kerabat berkumpul.

Begitu mereka hadir, si tukang giling menyuruh mereka memberi jalan, menghamparkan kainnya, dan membawa keledai itu ke dalam ruangan. “Sekarang saksikanlah,” katanya, lalu ia berseru, “Bricklebrit,” namun tak satu pun kepingan emas jatuh, dan jelas binatang itu tidak tahu hal itu, sebab tidak setiap keledai mencapai kesempurnaan semacam itu. Maka si tukang giling malang itu menundukkan wajahnya, melihat bahwa ia telah ditipu, dan memohon ampun kepada kerabat-kerabat, yang pulang sama miskinnya seperti ketika mereka datang. Tak ada guna lagi; si tua harus kembali kepada jarum jahitnya, dan pemuda itu mengabdi kepada seorang tukang giling.

Anak ketiga telah menjadi murid seorang tukang bubut, dan karena pekerjaan itu adalah keahlian khusus, ia memerlukan waktu paling lama untuk belajar. Namun, kedua saudaranya telah menulis surat kepadanya, menceritakan betapa buruk nasib mereka, dan bagaimana pemilik penginapan telah menipu mereka, merampas benda-benda ajaib mereka pada malam terakhir sebelum mereka sampai di rumah.

Ketika masa belajarnya selesai dan ia harus berangkat mengembara, karena ia telah berperilaku dengan sangat baik, sang guru memberinya sebuah karung dan berkata,
“Di dalamnya ada sebuah pentung.”

“Aku bisa membawa karung ini,” katanya, “dan mungkin akan berguna bagiku, tetapi mengapa harus ada pentung di dalamnya? Itu hanya membuatnya berat.”

“Aku akan memberitahumu alasannya,” jawab sang guru. “Jika ada seseorang yang berbuat jahat kepadamu, cukup katakan, ‘Keluarlah dari karung, Pentung!’ maka pentung itu akan melompat keluar di tengah orang-orang, dan menari-nari di punggung mereka sedemikian rupa hingga mereka tak akan mampu bergerak atau berdiri selama seminggu, dan ia tak akan berhenti sampai engkau berkata, ‘Masuklah ke karung, Pentung!’”

Sang murid mengucapkan terima kasih, memanggul karung itu di punggungnya, dan ketika ada orang yang datang mendekatinya dan hendak menyerangnya, ia akan berkata, “Keluarlah dari karung, Pentung!” Seketika pentung itu melompat keluar, mengebuk punggung satu demi satu, dan tak berhenti sampai pakaian mereka terlepas, begitu cepat hingga sebelum siapa pun menyadarinya, tiba-tiba giliran mereka sendiri telah tiba.

Menjelang malam, tukang bubut muda itu tiba di penginapan tempat saudara-saudaranya pernah ditipu. Ia meletakkan karungnya di atas meja di depannya, lalu mulai bercerita tentang segala hal menakjubkan yang telah ia lihat di dunia.

“Ya,” katanya, “orang bisa saja menemukan meja yang mampu menyuguhkan makanan sendiri, seekor keledai emas, dan benda-benda semacam itu, barang-barang yang amat baik, yang sama sekali tidak kuanggap remeh, namun semua itu tak ada artinya dibanding harta yang telah kuperoleh sendiri, dan yang kini kubawa dalam karung ini.”

Pemilik penginapan menajamkan telinganya. “Apa gerangan itu?” pikirnya. “Pasti karung itu penuh dengan permata; aku harus mendapatkannya juga, sebab semua hal baik datang dalam jumlah tiga.”

Ketika tiba waktunya tidur, sang tamu merebahkan diri di bangku, menaruh karung itu di bawah kepalanya sebagai bantal. Saat pemilik penginapan menyangka tamunya telah tertidur lelap, ia mendekat, mendorong dan menarik karung itu dengan sangat hati-hati, mencoba menariknya pergi dan menaruh karung lain sebagai gantinya.

Namun tukang bubut itu telah lama menunggu kesempatan ini, dan tepat ketika si pemilik hendak menarik dengan sekuat tenaga, ia berseru,
“Keluarlah dari karung, Pentung!”

Seketika pentung kecil itu melompat keluar dan menghujani punggung pemilik penginapan dengan pukulan bertubi-tubi. Ia berteriak memohon belas kasihan, tetapi semakin keras ia berteriak, semakin berat pula pentung itu menabuh irama di punggungnya, hingga akhirnya ia terjatuh ke tanah, kelelahan.

Lalu si tukang bubut berkata,
“Jika engkau tidak mengembalikan meja yang menyuguhkan makanan sendiri, dan keledai emas, maka tarian ini akan dimulai kembali.”

“Oh, jangan! Jangan!” seru si pemilik dengan suara sangat rendah hati, “Aku akan menyerahkan semuanya dengan senang hati, asalkan makhluk sialan ini mau merayap kembali masuk ke dalam karung.”

Maka sang murid berkata,
“Aku akan membiarkan belas kasihan menggantikan keadilan, tetapi berhati-hatilah agar tidak berbuat curang lagi!”

Lalu ia berseru, “Masuklah ke karung, Pentung!” dan membiarkannya beristirahat.

Keesokan paginya, si tukang bubut pulang ke rumah ayahnya, membawa meja yang dapat menyuguhkan makanan sendiri, dan keledai emas. Penjahit tua itu bersukacita ketika melihatnya kembali, dan bertanya pula, apa yang telah ia pelajari di negeri-negeri asing.

“Ayah yang baik,” katanya, “aku telah menjadi seorang tukang bubut.”

“Pekerjaan yang terampil,” ujar sang ayah. “Apa yang kau bawa pulang dari perjalananmu?”

“Sebuah benda yang amat berharga, ayah,” jawab sang anak, “sebuah pentung di dalam karung.”

“Apa!” seru sang ayah, “pentung! Itu memang pantas kau bawa pulang! Dari setiap pohon pun kau bisa memotong dan membuatnya sendiri.”

“Namun tidak ada yang seperti ini, ayah. Jika aku berkata, ‘Keluarlah dari karung, Pentung!’ maka pentung ini akan melompat keluar dan menari-nari di punggung siapa pun yang berniat jahat padaku, dan tak akan berhenti hingga mereka tergeletak di tanah memohon ampun. Lihatlah, dengan pentung ini aku telah mendapatkan kembali meja yang menyuguhkan makanan sendiri dan keledai emas yang telah dicuri pemilik penginapan licik itu dari saudara-saudaraku. Sekarang, panggil mereka berdua, dan undang semua sanak keluarga kita. Aku akan memberi mereka makan dan minum, dan bahkan memenuhi kantong mereka dengan emas.”

Penjahit tua itu hampir tak percaya, namun tetap saja ia mengumpulkan semua kerabat. Lalu si tukang bubut membentangkan sehelai kain di dalam ruangan dan membawa masuk keledai emas, seraya berkata kepada saudaranya,
“Sekarang, saudara terkasih, bicaralah kepadanya.”

Si tukang giling berkata, “Bricklebrit,” dan seketika kepingan emas berjatuhan di atas kain itu bagaikan hujan badai, dan keledai itu tak berhenti sampai setiap orang telah mendapat begitu banyak hingga tak sanggup lagi membawanya.
(Aku dapat melihat dari wajahmu bahwa engkau pun ingin berada di sana.)

Kemudian si tukang bubut membawa meja kecil itu dan berkata,
“Sekarang, saudara terkasih, bicaralah kepadanya.”

Baru saja si tukang kayu mengucapkan, “Meja kecil, bentangkanlah dirimu,” meja itu pun langsung terhampar dan dipenuhi aneka hidangan paling lezat. Maka terjadilah santapan yang belum pernah dialami sang penjahit di rumahnya, dan seluruh keluarga tetap tinggal bersama hingga jauh malam, bersuka cita dan penuh kegembiraan.

Penjahit itu mengunci jarum dan benang, meteran jahit, dan setrika angsa di dalam lemari, dan hidup bersama ketiga putranya dalam sukacita dan kemewahan.

Namun, apakah yang terjadi pada kambing yang menjadi penyebab sang penjahit mengusir ketiga anaknya? Akan kuceritakan padamu.

Kambing itu merasa malu karena kepalanya botak, dan berlari menuju sebuah lubang rubah lalu menyusup masuk ke dalamnya. Ketika rubah pulang, ia disambut oleh dua mata besar yang berkilat dari kegelapan, sehingga ia ketakutan dan lari terbirit-birit.

Seekor beruang berpapasan dengannya, dan karena melihat rubah tampak begitu gelisah, ia bertanya,
“Apa yang terjadi padamu, Saudara Rubah? Mengapa wajahmu seperti itu?”

“Ah,” jawab si Berkulit Merah, “seekor binatang buas yang mengerikan ada di dalam guaku, dan menatapku dengan mata menyala-nyala.”

“Kita akan segera mengusirnya,” kata beruang itu. Ia pergi bersama rubah menuju gua dan mengintip ke dalam, tetapi ketika ia melihat mata menyala itu, rasa takut pun mencengkeramnya; ia tak mau berurusan dengan makhluk buas itu dan segera kabur.

Seekor lebah bertemu dengannya, dan melihat beruang itu tampak resah, ia berkata,
“Beruang, wajahmu benar-benar tampak menyedihkan; ke manakah perginya keceriaanmu?”

“Mudah saja bagimu berkata begitu,” jawab beruang, “seekor binatang buas dengan mata melotot ada di rumah Berkulit Merah, dan kami tak mampu mengusirnya.”

Lebah itu berkata,
“Beruang, aku kasihan padamu. Aku hanyalah makhluk kecil dan lemah, yang bahkan tak akan kau perhatikan, namun aku yakin aku bisa menolongmu.”

Maka ia terbang masuk ke gua rubah, hinggap di kepala kambing yang licin tanpa bulu itu, dan menyengatnya begitu keras, hingga kambing itu meloncat sambil berteriak, “Mbeek, mbeek!” lalu lari ke dunia luar seolah gila, dan sampai hari ini, tak seorang pun tahu ke mana ia pergi.

Komentar