KHM 144 - Das Eselein (Si Keledai Kecil)

 

Si Keledai Kecil

Pada suatu masa hiduplah seorang Raja dan seorang Ratu, kaya raya dan memiliki segala yang mereka inginkan, kecuali anak. Siang dan malam sang Ratu meratapi hal itu, dan berkata, “Aku bagaikan sebidang tanah yang tak menumbuhkan apa-apa.”

Akhirnya Tuhan mengabulkan harapannya, namun ketika sang bayi lahir ke dunia, ia tidak tampak seperti seorang anak manusia, melainkan seekor keledai kecil. Melihat itu, tangis dan ratapan sang ibu pun meledak dengan sungguh-sungguh. Ia berkata, lebih baik ia tak punya anak sama sekali daripada memiliki seekor keledai, dan memerintahkan agar bayi itu dilemparkan ke dalam air supaya dimakan ikan.

Namun sang Raja berkata, “Tidak. Karena Tuhan telah mengirimnya, ia akan menjadi putra dan ahli warisku, dan setelah aku tiada, ia akan duduk di takhta kerajaan dan mengenakan mahkota raja.”

Maka keledai kecil itu dibesarkan dan tumbuh semakin besar, dengan telinga yang tinggi dan tegak dengan indah. Namun hatinya riang, ia suka melompat-lompat, bermain, dan amat senang pada musik. Hingga suatu hari ia pergi kepada seorang pemusik ternama dan berkata, “Ajarkan padaku keahlianmu, agar aku dapat memainkan kecapi sebaik engkau.”

“Ah, tuan kecil,” jawab sang pemusik, “itu akan sangat sulit bagimu. Jemarimu tentu tidak cocok untuk itu, terlalu besar. Aku khawatir senarnya tak akan bertahan lama.”

Namun segala alasan itu tak berarti. Keledai itu tekun dan berkeras hati ingin belajar bermain kecapi. Ia rajin dan ulet, hingga akhirnya ia menguasainya sama baiknya dengan sang guru sendiri.

Suatu ketika, sang bangsawan muda itu berjalan-jalan sambil termenung, hingga tiba di sebuah sumur. Ia menatap ke dalamnya, dan di air sebening cermin ia melihat wujudnya sendiri, seekor keledai. Hal itu membuatnya sangat berduka, sehingga ia memutuskan pergi merantau ke penjuru dunia, hanya ditemani seorang sahabat setia.

Mereka mengembara ke sana kemari, sampai akhirnya tiba di sebuah kerajaan yang diperintah seorang raja tua yang memiliki seorang putri tunggal yang amat cantik jelita.

Keledai itu berkata, “Kita akan tinggal di sini,” lalu mengetuk gerbang dan berseru, “Seorang tamu ada di luar, bukakan pintu agar ia dapat masuk.”

Namun, karena gerbang itu tidak dibukakan, ia pun duduk, mengambil kecapinya, dan memainkannya dengan cara yang begitu merdu, menggunakan kedua kaki depannya.

Penjaga pintu yang mendengarnya membuka mata lebar-lebar karena heran, lalu berlari menemui sang Raja dan berkata, “Di luar, di dekat gerbang, duduk seekor keledai muda yang memainkan kecapi sebaik seorang guru besar musik!”

“Kalau begitu, biarkan sang pemusik datang padaku,” ujar sang Raja.

Namun, ketika seekor keledai yang masuk, semua orang pun tertawa melihat sang pemain kecapi itu.

Kemudian keledai itu diminta duduk makan bersama para pelayan. Ia menolak, dan berkata, “Aku bukan keledai kandang biasa. Aku seekor keledai bangsawan.”

Mereka pun berkata, “Kalau begitu, duduklah bersama para prajurit.”

“Tidak,” jawabnya, “aku ingin duduk di samping Raja.”

Sang Raja tersenyum dan berkata dengan ramah, “Baiklah, seperti yang kau inginkan, keledai kecil, kemarilah duduk di dekatku.”

Lalu ia bertanya, “Keledai kecil, bagaimana pendapatmu tentang putriku?”

Keledai itu menoleh ke arahnya, memandangnya, mengangguk, dan berkata, “Aku menyukainya tiada tara. Belum pernah aku melihat seseorang secantik dirinya.”

“Kalau begitu, duduklah di sampingnya juga,” kata sang Raja.

“Itulah yang memang kuinginkan,” ujar si keledai. Ia pun duduk di sebelah sang putri, makan dan minum, dan pandai menjaga tata krama dengan rapi dan sopan.

Setelah sang hewan bangsawan itu tinggal cukup lama di istana Raja, ia berpikir, “Apa gunanya semua ini bagiku, bila pada akhirnya aku tetap harus pulang kembali?”

Ia menundukkan kepala dengan sedih, lalu datang menghadap Raja untuk memohon izin pergi.

Namun sang Raja telah menaruh kasih padanya, dan berkata, “Keledai kecil, apa yang mengganggumu? Wajahmu masam bagaikan kendi cuka. Akan kuberikan apa pun yang kauinginkan. Apakah kau menginginkan emas?”

“Tidak,” jawab si keledai, sambil menggelengkan kepala.

“Apakah kau ingin permata dan pakaian indah?”

“Tidak.”

“Apakah kau ingin setengah dari kerajaanku?”

“Tidak juga.”

Maka berkatalah sang Raja, “Andai saja aku tahu apa yang dapat membuatmu bahagia. Maukah kau menikahi putriku yang cantik?”

“Ah, ya,” ujar si keledai, “aku memang sangat menginginkannya.”

Sekonyong-konyong wajahnya berseri-seri penuh kegembiraan, sebab itulah yang sesungguhnya ia dambakan.

Maka diadakanlah perayaan pernikahan yang agung dan gemilang.

Pada malam hari, ketika mempelai pria dan mempelai wanita diantar ke kamar pengantin, sang Raja ingin mengetahui apakah si keledai akan berperilaku baik. Maka ia memerintahkan seorang pelayan untuk bersembunyi di sana.

Setelah keduanya berada di dalam, mempelai pria mengunci pintu, menoleh ke sekeliling, dan ketika merasa benar-benar sendirian, ia tiba-tiba melepaskan kulit keledainya.

Sekarang ia berdiri di hadapan sang pengantin sebagai seorang pemuda tampan nan gagah.

“Nah,” katanya, “sekarang kau tahu siapa diriku, dan kau pun tahu bahwa aku tidaklah pantas diremehkan.”

Mendengar itu, sang pengantin perempuan pun bergembira. Ia mencium suaminya dan mengasihinya dengan sepenuh hati.

Ketika pagi menjelang, ia segera bangun, mengenakan kembali kulit keledainya, dan tak seorang pun akan dapat menduga bentuk seperti apa yang tersembunyi di baliknya.

Tak lama kemudian, sang Raja tua datang.

“Ah,” serunya, “apakah si keledai kecil gembira? Tetapi, tentu saja, kau pasti bersedih,” katanya kepada putrinya, “karena kau tidak mendapatkan seorang pria sejati sebagai suami?”

“Oh tidak, Ayahanda tercinta,” jawab sang putri, “aku mencintainya sebagaimana aku akan mencintai pria tertampan di dunia, dan aku akan menjaganya selama hayatku.”

Sang Raja terkejut mendengar itu. Namun pelayan yang telah bersembunyi malam sebelumnya datang dan menceritakan segala sesuatu kepadanya.

“Itu tidak mungkin benar,” kata sang Raja.

“Kalau begitu, intailah sendiri malam nanti, dan Tuan akan melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dan, dengarkan baik-baik, Baginda Raja, bila Tuan mengambil kulitnya dan melemparkannya ke dalam api, ia akan terpaksa menampakkan wujudnya yang sejati.”

“Saranmu baik,” jawab sang Raja.

Malam pun tiba. Saat mereka telah terlelap, sang Raja menyelinap masuk. Ketika ia tiba di sisi ranjang, cahaya bulan yang jatuh dari jendela memperlihatkan seorang pemuda tampan nan gagah terbujur di sana, sementara kulit keledainya terbentang di lantai.

Maka diambilnyalah kulit itu, lalu ia memerintahkan agar api besar dinyalakan di luar. Ia sendiri berjaga di situ hingga kulit itu seluruhnya terbakar menjadi abu.

Namun, karena ingin tahu bagaimana sang pemuda yang kehilangan kulitnya itu akan bertindak, sang Raja terjaga sepanjang malam, tak memejamkan mata sama sekali.

Ketika sang pemuda bangun selepas tidurnya, ia bangkit pada cahaya pertama fajar, dan hendak mengenakan kulit keledainya kembali. Tetapi kulit itu tak ada di tempatnya.

Seketika hatinya dicekam rasa cemas dan duka yang mendalam.

“Sekarang aku harus mencari cara untuk melarikan diri,” katanya dalam hati.

Namun, ketika ia keluar, sang Raja telah berdiri menantinya.

“Putraku,” ujar sang Raja, “ke manakah engkau hendak pergi dengan tergesa-gesa begini? Apa yang kau rencanakan? Tinggallah di sini. Engkau lelaki yang begitu tampan, tak akan kubiarkan engkau pergi dariku. Kini akan kuberikan setengah dari kerajaanku kepadamu, dan setelah aku tiada, engkau akan memiliki seluruhnya.”

“Kalau begitu,” jawab sang pemuda, “semoga apa yang bermula dengan baik ini berakhir dengan baik pula. Aku akan tinggal bersamamu.”

Dan sang Raja tua pun memberinya setengah kerajaan. Dalam setahun, ketika sang Raja wafat, pemuda itu memperoleh seluruhnya. Lalu, setelah ayahnya sendiri meninggal, ia pun mewarisi satu kerajaan lagi, dan hidup dalam segala kemegahan.

Komentar