KHM 106 - Der arme Müllerbursch und das Kätzchen (Anak Magang Tukang Giling yang Malang dan Kucing Kecil)
Di sebuah penggilingan hiduplah seorang tukang giling tua yang tidak memiliki istri maupun anak. Ia memiliki tiga orang anak magang yang bekerja padanya. Setelah mereka bertahun-tahun mengabdi, pada suatu hari si tukang giling berkata kepada mereka, “Aku sudah tua, dan ingin duduk di sudut dekat perapian. Pergilah, dan siapa pun di antara kalian yang dapat membawakan aku kuda terbaik, kepadanya akan kuberikan penggilingan ini, dan sebagai gantinya ia harus merawatku hingga aku meninggal.”
Anak magang yang ketiga adalah yang paling malang, dianggap bodoh oleh yang lain, dan mereka merasa iri bila penggilingan jatuh ke tangannya. Mereka bahkan yakin ia pun tak akan menginginkannya. Maka berangkatlah ketiganya bersama-sama. Ketika mereka tiba di desa, dua anak magang yang cerdik itu berkata kepada Hans si bodoh, “Kau lebih baik tinggal di sini saja, sebab seumur hidupmu pun kau takkan pernah mendapatkan seekor kuda.”
Namun Hans tetap pergi bersama mereka, dan ketika malam tiba mereka menemukan sebuah gua, lalu berbaring di sana untuk tidur. Kedua anak yang licik itu menunggu sampai Hans terlelap, kemudian bangun diam-diam, meninggalkannya di tempat itu, dan merasa telah melakukan hal yang sangat cerdik, meskipun sebenarnya hal itu pasti akan berakhir buruk bagi mereka.
Ketika matahari terbit dan Hans terbangun, ia mendapati dirinya berada di sebuah gua yang dalam. Ia memandang ke sekeliling dan berseru, “Ya Tuhan, di manakah aku ini?”
Lalu ia bangkit, memanjat keluar dari gua, berjalan ke dalam hutan, dan berpikir, “Kini aku sendirian, ditinggalkan, bagaimana aku bisa mendapatkan seekor kuda?”
Saat ia berjalan sambil termenung, ia bertemu seekor kucing belang kecil yang berkata dengan ramah, “Hans, ke manakah kau pergi?”
“Ah, kau takkan bisa membantuku.”
“Aku tahu betul apa yang kau inginkan,” kata si kucing. “Kau ingin memiliki seekor kuda yang indah. Ikutlah denganku, jadilah pelayan setiaku selama tujuh tahun, dan setelah itu akan kuberikan kepadamu seekor kuda yang lebih indah daripada yang pernah kau lihat seumur hidupmu.”
“Benar-benar kucing yang aneh,” pikir Hans, “tapi aku ingin tahu apakah ia berkata jujur.”
Maka si kucing membawanya ke istananya yang ajaib, di mana tak ada seorang pun kecuali kucing-kucing yang menjadi pelayannya. Mereka melompat lincah naik-turun tangga, riang dan penuh suka cita.
Pada malam hari, ketika mereka duduk untuk makan malam, tiga ekor kucing harus bermain musik. Seekor memainkan basun, seekor lagi memainkan biola, dan yang ketiga meniup terompet, mengembungkan pipinya sebesar-besarnya. Setelah mereka selesai makan, meja diangkat, dan si kucing berkata, “Nah, Hans, mari berdansa denganku.”
“Tidak,” jawab Hans, “aku tidak mau berdansa dengan seekor kucing. Belum pernah aku melakukannya.”
“Kalau begitu, bawa dia ke kamar tidurnya,” kata si kucing kepada para pelayannya. Maka seekor menyalakan lilin untuknya, seekor mencopot sepatunya, seekor lagi melepaskan kaus kakinya, dan akhirnya seekor meniup lilin itu hingga padam.
Keesokan paginya, mereka kembali dan menolongnya bangun dari tempat tidur. Seekor memakaikan kaus kaki, seekor mengikatkan pengikatnya, seekor membawa sepatunya, seekor membasuh wajahnya, dan seekor lagi mengeringkannya dengan ekornya.
“Lembut sekali rasanya!” kata Hans.
Namun setiap hari Hans harus melayani si kucing, salah satunya dengan membelah kayu. Untuk itu ia diberi kapak perak, baji dan gergaji dari perak, serta pemukul dari tembaga. Maka ia pun membelah kayu menjadi potongan kecil, tinggal di rumah itu, makan dan minum dengan baik, namun tak pernah melihat siapa pun selain kucing belang itu dan para pelayannya.
Suatu ketika, si kucing berkata kepadanya, “Pergilah dan pangkas padang rumputku, lalu keringkan rumputnya,” dan memberinya sabit dari perak serta batu asah dari emas, namun berpesan agar ia mengembalikannya dengan hati-hati. Maka Hans pergi, melakukan semua yang diperintahkan, dan ketika pekerjaan selesai, ia membawa kembali sabit, batu asah, dan rumput yang telah kering, lalu bertanya apakah sudah waktunya ia menerima imbalannya.
“Belum,” kata si kucing, “kau harus melakukan satu pekerjaan lagi yang sejenis. Di sana ada kayu-kayu dari perak, kapak tukang kayu dari perak, penggaris siku, dan segala yang diperlukan, semuanya dari perak. Dengan itu, bangunkan aku sebuah rumah kecil.”
Maka Hans membangun rumah kecil itu, dan berkata bahwa kini ia telah melakukan segalanya, namun ia masih belum mendapatkan seekor kuda. Meski begitu, tujuh tahun berlalu baginya seolah hanya enam bulan saja.
Si kucing lalu bertanya kepadanya apakah ia ingin melihat kuda-kudanya.
“Ya,” jawab Hans.
Maka si kucing membuka pintu rumah kecil itu, dan ketika pintu terbuka, tampaklah dua belas ekor kuda berdiri di dalamnya, kuda-kuda yang begitu berkilau dan bercahaya hingga hati Hans bersuka cita memandangnya.
Kini ia diberi makan dan minum, lalu si kucing berkata, “Pulanglah. Aku tidak akan memberimu kudamu sekarang, tetapi dalam tiga hari aku akan menyusulmu dan membawanya.”
Maka Hans pun berangkat, dan si kucing menunjukkan jalan menuju penggilingan. Namun selama tujuh tahun ia mengabdi, si kucing tidak pernah memberinya baju baru; ia terpaksa tetap mengenakan jubah kerja lamanya yang kotor, yang dibawanya sejak awal, dan kini, setelah bertahun-tahun, jubah itu sudah menjadi terlalu kecil untuk tubuhnya.
Ketika ia tiba di rumah, dua anak magang lainnya sudah kembali pula, masing-masing membawa seekor kuda. Namun satu dari kuda itu buta, dan yang satu lagi pincang. Mereka bertanya kepada Hans di mana kudanya. “Dalam tiga hari lagi ia akan menyusulku.”
Mereka pun tertawa dan berkata, “Memang, Hans si bodoh, dari mana kau akan mendapatkan seekor kuda?”
“Itu akan menjadi kuda yang indah!” jawab Hans.
Hans masuk ke ruang tamu, tetapi si tukang giling berkata ia tidak boleh duduk di meja, sebab pakaiannya compang-camping dan robek, dan mereka akan malu bila ada orang yang melihatnya. Maka mereka memberinya sesuap makanan di luar.
Malamnya, ketika hendak beristirahat, kedua anak magang itu tidak mengizinkannya tidur di dalam rumah, hingga akhirnya ia terpaksa merangkak masuk ke kandang angsa dan berbaring di atas sedikit jerami keras.
Keesokan paginya, ketika ia terbangun, tiga hari telah berlalu, dan datanglah sebuah kereta yang ditarik oleh enam ekor kuda, berkilau begitu indah hingga menyenangkan hati siapa pun yang memandangnya. Seorang pelayan membawa seekor kuda ketujuh—kuda itu untuk si anak tukang giling yang malang.
Dari kereta turunlah seorang putri yang begitu anggun, dan putri itu tak lain adalah kucing belang kecil yang telah dilayani Hans selama tujuh tahun. Ia bertanya kepada si tukang giling, “Di manakah anak tukang giling yang bekerja paling keras itu?”
Maka jawab tukang giling, “Kami tidak bisa membiarkannya tinggal di dalam penggilingan, sebab pakaiannya compang-camping. Ia sedang berbaring di kandang angsa.”
Sang putri berkata agar Hans segera dibawa kepadanya. Maka mereka pun membawanya keluar, dan ia terpaksa memegangi jubah kerjanya yang kecil agar tubuhnya tertutup. Para pelayan membukakan peti berisi pakaian indah, memandikannya, lalu mendandani dia, dan setelah itu tak ada raja pun yang dapat tampil lebih tampan darinya.
Kemudian sang putri ingin melihat kuda yang dibawa pulang oleh kedua anak magang lainnya. Seekor ternyata buta, dan seekor lagi pincang. Maka ia memerintahkan pelayannya membawa kuda ketujuh. Ketika si tukang giling melihatnya, ia berkata bahwa kuda semegah itu belum pernah menginjak halaman miliknya.
“Itu untuk anak tukang giling yang ketiga,” kata sang putri.
“Kalau begitu, dia harus memiliki penggilingan ini,” kata si tukang giling.
Namun sang putri menjawab bahwa kudanya telah tiba, dan ia juga akan membiarkan Hans tetap memiliki penggilingan itu. Ia lalu menggandeng Hans yang setia, membawanya masuk ke dalam kereta, dan pergi bersamanya.
Mula-mula mereka menuju rumah kecil yang dibangun Hans dengan peralatan perak. Dan lihatlah, rumah kecil itu kini telah menjadi sebuah istana besar dan segala yang ada di dalamnya terbuat dari perak dan emas. Kemudian ia menikahi Hans, dan ia pun menjadi kaya, begitu kaya sehingga ia memiliki cukup harta untuk seumur hidupnya.
Sesudah ini, jangan pernah ada yang berkata bahwa orang bodoh takkan pernah menjadi seseorang yang penting.
Komentar
Posting Komentar