KHM 58 - Der Hund und der Sperling (Anjing dan Burung Pipit)



Seekor anjing gembala domba memiliki majikan yang buruk, yang membiarkannya kelaparan. Karena tak sanggup lagi bertahan di sisinya, ia pun pergi dengan hati sedih. Dalam perjalanan, ia bertemu seekor burung pipit yang berkata,

“Saudara Anjing, mengapa engkau begitu murung?”

Anjing itu menjawab,
“Aku lapar, dan tak punya apa pun untuk dimakan.”

Maka burung pipit berkata,
“Saudara terkasih, ikutlah bersamaku ke kota, aku akan mengenyangkan perutmu.”

Lalu mereka pun pergi bersama menuju kota, dan ketika sampai di depan sebuah toko daging, burung pipit berkata kepada anjing,
“Tunggulah di sini, dan aku akan menjatuhkan sepotong daging untukmu.”

Burung itu hinggap di meja jualan, menoleh ke sekeliling memastikan tak ada yang mengawasinya, lalu mematuk, menarik, dan mencabik-cabik sepotong daging yang terletak di tepi, hingga akhirnya daging itu terjatuh. Seketika anjing itu menyambar, berlari ke sudut jalan, dan melahapnya habis.

Kata burung pipit,
“Sekarang ikutlah denganku ke toko lain, dan akan kuambilkan lagi sepotong untukmu agar engkau puas.”

Ketika anjing itu selesai melahap potongan kedua, burung pipit bertanya,
“Saudara Anjing, sudahkah engkau kenyang sekarang?”

“Ya, aku sudah cukup makan daging,” jawabnya, “tetapi aku belum mendapat roti.”

Burung pipit pun berkata,
“Itu pun akan kauperoleh, ikutlah denganku.”

Ia pun membawanya ke sebuah toko roti, dan mematuk dua roti kecil hingga menggelinding jatuh. Karena anjing itu masih menginginkan lebih, ia menuntunnya ke lapak lain dan kembali menjatuhkan roti untuknya.

Setelah semuanya habis dimakan, burung pipit berkata,
“Saudara Anjing, sudahkah engkau puas kini?”

“Ya,” jawabnya, “sekarang mari kita berjalan-jalan sejenak ke luar kota.”

Maka keduanya berjalan keluar menuju sebuah jalan besar. Saat itu cuaca panas, dan setelah mereka menempuh perjalanan agak jauh, anjing berkata,
“Aku lelah dan ingin berbaring untuk tidur.”

“Baiklah, tidurlah,” jawab burung pipit, “sementara itu aku akan duduk di atas ranting.”

Maka anjing pun merebahkan diri di jalan, dan segera terlelap.

Ketika sang anjing sedang tidur, lewatlah seorang kusir yang mengendarai gerobak dengan tiga ekor kuda, penuh dengan muatan dua tong besar berisi anggur. Burung pipit melihat kusir itu tak berniat mengalihkan jalannya, tetapi tetap berada di jalur roda tempat anjing berbaring. Maka ia berseru,

“Kusir, jangan lakukan itu, atau akan kubuat engkau sengsara!”

Namun kusir itu bergumam kesal,
“Engkau takkan bisa membuatku celaka,”

Lalu ia mengayunkan cambuk dan menggiring gerobaknya tepat melindas tubuh anjing. Roda itu menggilas anjing malang itu, dan seketika ia mati.

Maka burung pipit berseru,
“Engkau telah melindas saudaraku si Anjing dan membunuhnya; kini gerobak dan kudamu akan menjadi gantinya!”

“Gerobak dan kuda, katamu? Apa celaka yang bisa kaulakukan padaku?” sahut si kusir, lalu ia terus melaju.

Namun burung pipit menyelinap ke bawah terpal penutup gerobak, dan mematuk lama pada lubang sumbat tong, sampai akhirnya sumbat itu terlepas. Maka anggur pun mengalir deras, tanpa disadari oleh kusir.

Hingga suatu kali ia menoleh ke belakang, dan melihat ada yang menetes dari gerobaknya. Ia memeriksa tong-tong itu, dan mendapati salah satunya telah kosong.

“Celakalah aku!” serunya.

“Belum cukup celaka!” kata burung pipit, lalu ia terbang hinggap di kepala salah seekor kuda, dan mematuk matanya sampai buta.

Ketika kusir melihat hal itu, ia mencabut kapaknya dan hendak menghantam burung pipit untuk membunuhnya. Namun burung itu terbang ke udara, dan ayunan kapaknya justru mengenai kepala kudanya sendiri, sehingga hewan itu roboh dan mati.

“Oh, betapa malangnya aku!” ratap si kusir.

“Belum cukup malang!” kata burung pipit, lalu ketika kusir melanjutkan perjalanan hanya dengan dua ekor kuda, ia kembali menyelinap ke bawah terpal penutup gerobak, mematuk sumbat tong kedua hingga lepas, dan semua anggur pun tumpah.

Ketika kusir menyadarinya, ia sekali lagi berseru,
“Oh, betapa malangnya aku!”

Namun burung pipit menjawab,
“Belum cukup malang!”

Ia lalu hinggap di kepala kuda yang kedua dan mematuk matanya sampai buta. Kusir berlari mendekat dan mengangkat kapaknya untuk menghantamnya, tetapi burung itu kembali terbang ke udara, dan ayunannya mengenai kuda kedua, yang pun ambruk tak bernyawa.

“Oh, betapa malangnya aku!” ratapnya lagi.

“Belum cukup malang!” kata burung pipit, lalu hinggap di kepala kuda yang ketiga dan mematuk kedua matanya. Kusir yang murka membabi buta mengayunkan kapaknya tanpa melihat ke mana, sehingga bukan burung itu yang terkena, melainkan kuda ketiganya sendiri, yang juga mati seketika.

“Oh, betapa malangnya aku!” pekiknya.

“Belum cukup malang!” sahut burung pipit. “Sekarang aku akan membuatmu celaka pula di rumahmu sendiri.”

Dan burung itu pun terbang pergi.

Sang kusir harus meninggalkan gerobaknya begitu saja, lalu dengan hati yang mendidih oleh amarah dan kesedihan, ia pulang ke rumah.

“Ah,” serunya kepada istrinya, “betapa banyak malapetaka menimpaku! Anggurku tumpah seluruhnya, dan ketiga kudaku mati!”

“Celaka kita,” jawab istrinya, “seekor burung jahat masuk ke rumah ini! Ia mengumpulkan segala burung yang ada di dunia, dan kini mereka menyerbu lumbung kita, melahap habis semua gandum.”

Maka sang kusir naik ke loteng, dan di sana ribuan, bahkan puluhan ribu burung bertengger, mematuk dan memakan setiap butir gandum. Di tengah-tengah mereka, burung pipit itu duduk dengan angkuhnya.

Kusir itu menjerit,
“Oh, betapa malangnya aku!”

“Belum cukup malang!” jawab burung pipit. “Hai kusir, nyawamulah yang harus dibayar!”

Dan dengan itu, ia terbang keluar jendela.

Kini sang kusir telah kehilangan segala miliknya. Dengan murka membara, ia turun ke ruang bawah, duduk di balik tungku, dan memendam amarah yang nyaris meledak.

Namun burung pipit hinggap di ambang jendela, menatap ke dalam, dan berkicau lantang:
“Hai kusir, nyawamulah yang harus dibayar!”

Sang kusir mencengkeram kapaknya dan melemparkannya ke arah burung itu. Tetapi ia hanya berhasil memecahkan kaca jendela; burung pipit tetap luput.

Burung itu pun melompat masuk, hinggap di atas tungku, dan berseru:
“Hai kusir, nyawamulah yang harus dibayar!”

Si kusir kini kalap, matanya memerah oleh kemarahan. Ia mengayunkan kapaknya, membelah tungku hingga pecah berkeping-keping. Burung itu beterbangan dari satu sudut ke sudut lain, dan di mana ia hinggap, di situlah kapak menghantam, menghancurkan segala yang ada—kaca cermin, bangku, meja—hingga dinding rumah pun tak luput.

Namun ia tak juga mampu mengenai burung itu. Akhirnya ia berhasil menangkapnya dengan tangannya sendiri.

“Haruskah aku membunuhnya?” tanya istrinya.

“Tidak!” teriak sang kusir. “Itu terlalu ringan baginya. Ia harus mati dengan cara yang lebih kejam.”

Lalu ia memasukkan burung pipit ke dalam mulutnya, menelannya bulat-bulat.

Namun burung itu menggeliat dan mengepak di dalam perutnya, terbang kembali ke kerongkongannya, menjulurkan kepalanya keluar dari mulut, dan berseru:
“Hai kusir, nyawamulah yang harus dibayar!”

Sang kusir menyerahkan kapak kepada istrinya sambil berkata,
“Istriku, bunuh burung ini di mulutku!”

Sang istri pun mengayunkan kapaknya, tetapi pukulannya meleset, mengenai kepala suaminya sendiri, yang kemudian roboh tak bernyawa.

Dan burung pipit itu pun terbang tinggi dengan bebas di udara.

Komentar