KHM 34 - Die kluge Else (Elsie yang Cerdik)

 


Dahulu kala hiduplah seorang lelaki yang memiliki seorang anak perempuan yang dijuluki Elsie yang Cerdik. Ketika ia telah cukup dewasa, ayahnya berkata,

“Kita akan menikahkannya.”

“Ya,” jawab sang ibu,
“asal ada saja yang bersedia menikahinya.”

Akhirnya datanglah seorang pria dari negeri yang jauh untuk melamarnya. Namanya Hans, dan ia mengajukan satu syarat: Elsie benar-benar harus cerdik.

“Oh,” kata sang ayah,
“ia cukup tajam otaknya.”

Dan ibunya berkata,
“Oh, dia bisa melihat angin datang dari ujung jalan, dan mendengar lalat yang sedang batuk.”

“Kalau begitu,” kata Hans,
“jika dia benar-benar cerdik, aku akan menikahinya. Tapi kalau tidak, aku tak mau.”

Ketika mereka sedang duduk makan malam dan telah selesai makan, sang ibu berkata,
“Elsie, turunlah ke ruang bawah tanah dan ambilkan bir.”

Maka Elsie yang Cerdik mengambil kendi dari dinding, turun ke ruang bawah tanah, dan mengetuk tutup kendi itu dengan ceria sepanjang jalan, agar waktu tidak terasa lama.

Sesampainya di bawah, ia mengambil sebuah kursi, meletakkannya di depan tong bir, agar ia tidak perlu membungkuk terlalu dalam, sehingga punggungnya tidak pegal atau tubuhnya tak terkena cedera mendadak.

Lalu ia meletakkan kendi di hadapannya, membuka keran tong, dan sementara bir mengalir, ia tak mau matanya menganggur, maka ia menatap ke dinding, dan setelah lama mengamati ke sana kemari, ia melihat sebuah belencong tergantung tepat di atas kepalanya, yang dulu tertinggal oleh para tukang batu.

Maka Elsie yang Cerdik mulai menangis, dan berkata:
“Jika aku menikah dengan Hans, dan kami memiliki anak, dan anak itu tumbuh besar, dan suatu hari kami menyuruhnya turun ke ruang bawah tanah untuk mengambil bir, lalu belencong itu jatuh menimpa kepalanya dan membunuhnya…”

Maka ia pun duduk dan menangis serta menjerit dengan segenap tenaga, atas kemalangan yang akan menimpa dirinya kelak.

Sementara itu, orang-orang di atas sedang menunggu bir, namun Elsie yang Cerdik belum juga muncul.

Akhirnya sang ibu berkata kepada pembantu rumah,
“Coba turun ke ruang bawah tanah dan lihat, apa yang dilakukan Elsie.”

Maka si pelayan pun turun, dan menemukannya duduk di depan tong, menangis terisak-isak.

“Elsie, mengapa kau menangis?” tanya pelayan itu.

“Ah,” jawab Elsie,
“bukankah aku punya alasan untuk menangis? Jika aku menikah dengan Hans, dan kami punya anak, dan dia tumbuh besar, dan suatu hari disuruh mengambil bir dari sini, lalu belencong itu jatuh menimpanya dan membunuhnya?”

“Oh, alangkah cerdiknya Elsie kita ini!” kata pelayan itu, lalu duduk di sampingnya dan ikut menangis keras-keras atas nasib malang itu.

Setelah beberapa lama, pelayan tak juga kembali, dan orang-orang di atas semakin haus. Maka sang ayah berkata kepada anak laki-lakinya,

“Coba kau turun ke ruang bawah tanah dan lihat, di mana Elsie dan si gadis itu.”

Si anak pun turun, dan di sana ia mendapati Elsie dan si pelayan sama-sama menangis.

“Mengapa kalian menangis?” tanyanya.

“Ah,” kata Elsie,
“bukankah aku punya alasan untuk menangis? Jika aku menikah dengan Hans, dan kami punya anak, dan anak itu tumbuh besar, dan suatu hari disuruh mengambil bir dari sini, lalu pacul itu jatuh dan membunuhnya?”

“Wah, betapa cerdiknya Elsie kita!” kata si anak, lalu ikut duduk bersama mereka dan meratap keras-keras.

Orang-orang di atas masih menunggu si anak laki-laki, dan karena ia tak juga kembali, sang ayah berkata kepada istrinya,
“Kau saja turun ke ruang bawah tanah dan lihat, di mana Elsie berada!”

Sang ibu pun turun, dan mendapati ketiganya sedang menangis tersedu-sedu, dan bertanya apa sebabnya. Maka Elsie kembali menceritakan bahwa anaknya kelak akan terbunuh oleh belencong, jika suatu hari ia dikirim mengambil bir, dan belencong itu jatuh menimpanya.

“Oh, betapa cerdiknya Elsie kita!” kata sang ibu, dan ia pun ikut duduk bersama mereka dan menangis.

Sementara itu, sang ayah menunggu sebentar, namun istrinya tak juga kembali dan rasa hausnya semakin menjadi, maka ia berkata,
“Aku sendiri yang harus turun ke ruang bawah tanah dan melihat, apa yang dilakukan Elsie!”

Tapi ketika ia sampai ke sana, dan melihat mereka semuanya sedang duduk bersama sambil menangis, dan ketika ia mendengar alasan tangisan itu bahwa anak Elsie yang belum lahir mungkin suatu hari akan mati karena belencong, ia pun berkata,
“Oh, betapa cerdiknya Elsie!” dan ia pun duduk ikut menangis bersama mereka.

Sang calon pengantin, Hans, sendirian di atas menunggu cukup lama. Namun karena tak seorang pun kembali, ia berpikir,
“Mereka pasti menungguku di bawah. Aku pun harus ke sana dan lihat apa yang terjadi.”

Begitu ia turun, ia melihat lima orang duduk sambil menjerit dan meratap sejadi-jadinya, masing-masing berusaha menangis lebih keras daripada yang lain.

“Kejadian malang apa yang sedang terjadi di sini?” tanyanya.

“Ah, Hans yang terkasih,” kata Elsie,
“jika kita menikah dan punya anak, dan ia tumbuh besar, dan suatu hari kita menyuruhnya mengambil minuman dari sini, dan belencong yang tergantung di sana jatuh dan menghantam kepalanya, maka otaknya akan hancur, bukankah kami punya alasan untuk menangis?”

“Hm,” kata Hans,
“tak perlu lebih banyak akal daripada itu untuk mengurus rumahku. Karena kau sungguh cerdik, Elsie, maka aku akan menikahimu.”

Dan ia pun menggenggam tangannya, membawanya naik ke atas, dan menikahinya.

Setelah Hans memiliki Elsie sebagai istrinya untuk beberapa waktu, ia berkata,
“Istriku, aku akan pergi bekerja dan mencari nafkah untuk kita. Pergilah ke ladang dan panen gandum, supaya kita punya tepung untuk membuat roti.”

“Baiklah, Hans tersayang, aku akan melakukannya,” jawab Elsie.

Setelah Hans pergi, ia memasak semangkuk sup yang lezat untuk dirinya sendiri, dan membawanya ke ladang bersamanya. Ketika ia sampai di ladang, ia berkata dalam hati,
“Apa yang sebaiknya kulakukan lebih dulu—menuai dulu, atau makan dulu? Ah, aku makan dulu saja.”

Maka ia pun menghabiskan seluruh isi mangkuk supnya, dan setelah kenyang, ia kembali berkata,
“Apa yang harus kulakukan sekarang? Menuai dulu, atau tidur dulu? Ah, aku tidur dulu saja.”
Lalu ia berbaring di antara tanaman gandum dan tertidur.

Hans telah berada di rumah cukup lama, tapi Elsie belum juga pulang. Maka ia berkata,
“Betapa cerdiknya istriku Elsie! Ia begitu rajin hingga tak sempat pulang untuk makan.”

Namun karena Elsie tetap tidak datang juga, dan hari mulai sore, Hans pergi ke ladang untuk melihat berapa banyak yang telah ia panen—namun tak ada sebatang pun yang dipotong, dan Elsie sedang tertidur di antara tanaman.

Hans pun segera pulang, mengambil jaring burung lengkap dengan lonceng-lonceng kecil, dan menggantungkan jaring itu di sekeliling Elsie, yang masih tertidur pulas.

Kemudian ia berlari pulang, menutup pintu rumah, dan duduk di kursinya sambil bekerja.

Ketika hari telah benar-benar gelap, Elsie terbangun, dan saat ia bangkit berdiri, terdengarlah bunyi gemerincing di sekelilingnya, dan lonceng-lonceng itu berbunyi setiap kali ia melangkah.

Ia menjadi takut, dan mulai ragu apakah dirinya benar-benar Elsie atau bukan, lalu berkata,
“Apakah aku ini aku, atau bukan aku?”

Namun ia tak tahu jawaban apa yang harus ia berikan, dan berdiri kebingungan untuk beberapa saat. Akhirnya ia berpikir,
“Aku akan pulang ke rumah dan bertanya, apakah aku ini aku, atau bukan aku. Mereka pasti tahu.”

Maka ia berlari ke pintu rumahnya, namun pintu itu terkunci. Lalu ia mengetuk jendela dan berseru,
“Hans, apakah Elsie ada di dalam?”

Hans menjawab dari dalam,
“Ya, Elsie ada di dalam.”

Mendengar itu, Elsie terkejut ketakutan, dan berkata,
“Ya Tuhan! Kalau begitu aku bukan Elsie,”

Lalu ia pergi ke rumah lain, namun saat orang-orang mendengar gemerincing lonceng-lonceng itu, mereka pun tidak membukakan pintu untuknya, dan ia tak dapat masuk ke mana pun.

Maka ia berlari keluar desa, dan sejak saat itu tak ada seorang pun yang pernah melihatnya lagi.

Komentar