KHM 24 - Frau Holle (Ibu Holle)

 


Dahulu kala, hiduplah seorang janda yang memiliki dua orang anak perempuan — yang satu cantik dan rajin, sedang yang satu lagi buruk rupa dan pemalas. Tetapi si janda jauh lebih menyayangi anaknya sendiri yang jelek dan pemalas itu, karena ia adalah darah dagingnya sendiri; sedangkan anak tiri yang cantik dan rajin itu harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, dan .dan diperlakukan layaknya si Abu dalam rumah itu.

Setiap hari, gadis malang itu harus duduk di tepi sumur di pinggir jalan, memintal dan memintal hingga jarinya berdarah. Pada suatu hari, gelendong pemintalnya ternoda darah, dan ia mencelupkannya ke dalam sumur untuk membasuhnya; tetapi gelendong itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke dasar sumur. Ia mulai menangis, lalu berlari pulang menemui ibu tirinya dan menceritakan apa yang terjadi. Tetapi si ibu tiri memarahinya dengan kasar, dan begitu tak berperasaan hingga berkata, “Kalau begitu, karena kau sudah menjatuhkan gelendong itu, kau sendiri yang harus mengambilnya kembali.”

Maka si gadis kembali ke sumur, tanpa tahu harus berbuat apa; dan karena putus asa, ia pun melompat ke dalam sumur demi mengambil gelendong itu. Ia kehilangan kesadaran; dan saat ia sadar kembali, ia mendapati dirinya berada di sebuah padang rumput yang indah, tempat matahari bersinar cerah dan ribuan bunga bermekaran.

Ia berjalan melintasi padang rumput itu, sampai akhirnya tiba di sebuah tungku roti milik seorang tukang roti, yang penuh dengan roti. Roti-roti itu berseru, “Oh, keluarkan kami! keluarkan kami! atau kami akan hangus; kami telah dipanggang terlalu lama!”Maka si gadis menghampirinya dan mengeluarkan semua roti itu satu per satu dengan sekop roti.

Setelah itu ia berjalan lagi hingga bertemu dengan sebuah pohon apel yang penuh dengan buah masak, dan pohon itu berseru, “Oh, guncangkan aku! Guncangkan aku! Semua apel kami sudah masak!” Maka ia pun mengguncang pohon itu hingga apel-apelnya berjatuhan seperti hujan, dan terus mengguncang hingga tak tersisa satu pun di dahan. Setelah mengumpulkannya ke dalam tumpukan, ia kembali melanjutkan perjalanan.

Akhirnya ia sampai pada sebuah rumah kecil, dari dalamnya mengintip seorang perempuan tua; tetapi giginya sangat besar hingga gadis itu ketakutan dan hampir saja lari. Namun si perempuan tua berseru kepadanya,
“Kenapa kau takut, anak manis? Tinggallah bersamaku. Jika kau mau mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan baik, kau akan mendapat balasan yang baik. Yang penting, kau harus merapikan tempat tidurku dengan benar, dan mengguncangnya kuat-kuat sampai bulunya beterbangan — sebab bila itu terjadi, maka salju turun di bumi. Akulah Ibu Holle.”

Karena perempuan tua itu berbicara begitu ramah, si gadis memberanikan diri dan menerima tawaran itu. Ia mengurus segala sesuatu sesuai dengan kehendak sang nyonya, dan selalu mengguncang tempat tidur hingga bulu-bulu beterbangan seperti serpihan salju. Maka hidupnya pun menyenangkan di sana; tak pernah ada kata kasar, dan setiap hari ia mendapat daging rebus atau panggang.

Ia tinggal cukup lama bersama Ibu Holle, sampai akhirnya ia merasa sedih. Pada mulanya ia sendiri tak tahu apa penyebabnya, namun kemudian ia menyadari bahwa itu adalah rindu kampung halaman: walaupun kehidupannya seribu kali lebih baik di sini dibanding di rumah, tetap saja hatinya ingin kembali ke dunia asalnya. Akhirnya ia berkata kepada perempuan tua itu,
“Aku merindukan rumahku; betapa pun baiknya keadaanku di sini, aku tak bisa tinggal lebih lama lagi. Aku harus kembali ke keluargaku di atas sana.”

Ibu Holle menjawab,
“Aku senang mendengar bahwa kau merindukan rumahmu, dan karena kau telah melayaniku dengan setia, aku sendiri yang akan mengantarmu kembali ke atas.”

Lalu ia menggandeng tangan si gadis, dan membawanya ke sebuah pintu besar. Pintu itu dibuka, dan tepat ketika gadis itu berdiri di ambang, .turunlah hujan emas yang lebat, dan seluruh emas itu menempel pada tubuh sang gadis, hingga ia bersinar keemasan dari ujung kepala hingga kaki.

“Itulah upahmu karena kau begitu rajin,” kata Ibu Holle, dan pada saat yang sama ia mengembalikan gelendong yang dahulu jatuh ke dalam sumur. Setelah itu pintunya tertutup, dan si gadis pun mendapati dirinya kembali di atas bumi, tidak jauh dari rumah ibunya.

Ketika ia memasuki pekarangan, seekor ayam jantan sedang berdiri di tepi sumur, dan berkokok,
“Kukuruyuk!
Si gadis emas telah kembali padamu!”

Maka ia pun pulang ke rumah ibunya, dan karena tubuhnya berkilau tertutup emas, ia disambut dengan ramah — baik oleh sang ibu maupun saudara tirinya.

Gadis itu menceritakan segala hal yang telah terjadi padanya; dan begitu ibunya mendengar bagaimana ia mendapatkan kekayaan sebanyak itu, ia pun sangat ingin agar nasib baik yang sama menimpa putrinya yang jelek dan pemalas.

Ia menyuruh gadis itu duduk di tepi sumur dan memintalnya; dan supaya gelendongnya terkena darah, ia mencelupkan tangannya ke dalam semak duri dan menusuk jarinya. Lalu ia melemparkan gelendongnya ke dalam sumur, dan melompat masuk mengejarnya.

Sama seperti sebelumnya, ia tiba di padang rumput nan indah, dan berjalan menyusuri jalan yang sama. Ketika ia sampai di tungku roti, roti-roti itu kembali berseru,
“Oh, keluarkan kami! keluarkan kami! atau kami akan hangus; kami telah dipanggang terlalu lama!”

Tapi si pemalas menjawab,
“Ah, mana mungkin aku mau mengotori tanganku untuk itu!”
dan ia terus berjalan.

Tak lama kemudian ia sampai di pohon apel, yang berseru,
“Oh, guncangkan aku! Guncangkan aku! Semua apel kami sudah masak!”

Tapi ia menjawab,
“Oh, enak saja! Nanti malah jatuh menimpa kepalaku,”
dan ia pun berlalu begitu saja.

Ketika ia tiba di rumah Ibu Holle, ia sama sekali tidak takut, sebab ia sudah pernah mendengar tentang gigi besar si perempuan tua itu. Ia langsung menawarkan diri untuk bekerja.

Hari pertama, ia memaksa dirinya bekerja dengan rajin, dan mematuhi semua perintah Ibu Holle, karena ia sedang memikirkan semua emas yang pasti akan diterimanya. Namun pada hari kedua, ia mulai bermalas-malasan, dan hari ketiga bahkan lebih malas lagi, sampai-sampai ia tak mau bangun dari tempat tidur di pagi hari.

Ia juga tidak merapikan tempat tidur Ibu Holle sebagaimana mestinya, dan tidak mengguncangnya hingga bulu-bulunya beterbangan. Ibu Holle pun segera bosan dengan kelakuannya, dan menyuruhnya pergi.

Si gadis pemalas setuju saja, sebab ia pikir kini saatnya hujan emas akan turun. Ibu Holle juga menggandengnya ke pintu besar; tetapi saat ia berdiri di bawah ambang pintu, bukannya emas, sebuah ketel besar berisi getah pekat dituangkan ke atas tubuhnya.

"Itulah upah atas pelayananmu," kata Ibu Holle, dan menutup pintu.

Maka si gadis pemalas pulang ke rumah; tapi seluruh tubuhnya kini tertutup pekat, dan tak bisa dibersihkan selama sisa hidupnya.

Dan ketika ayam jantan di tepi sumur melihatnya, ia pun berkokok:

“Kukuruyuk!
Si gadis bergetah telah kembali padamu!”

Tapi getah hitam itu melekat erat padanya, dan tak pernah bisa lepas seumur hidupnya.

Komentar