KHM 151b - Die zwölf faulen Knechte (Dua Belas Pelayan Pemalas)

 


Dua belas orang pelayan yang tidak melakukan apa-apa sepanjang hari, tidak juga berniat untuk menggerakkan diri pada malam harinya. Mereka berbaring di atas rumput dan saling membanggakan kemalasan masing-masing.

Yang pertama berkata,
“Untuk apa aku peduli pada kemalasan kalian? Aku saja sudah cukup sibuk mengurus kemalasanku sendiri. Merawat tubuhku adalah pekerjaan utamaku — aku makan tidak sedikit, dan minum jauh lebih banyak. Setelah makan empat kali, aku berpuasa sejenak hingga rasa lapar kembali datang, dan itu yang paling cocok bagiku. Bangun pagi bukan untukku; menjelang tengah hari pun aku sudah mulai mencari tempat beristirahat. Jika majikan memanggilku, aku bertingkah seolah tak mendengarnya, dan jika ia memanggil untuk kedua kalinya, aku menunggu sejenak sebelum berdiri, lalu berjalan kepadanya dengan sangat lamban. Dengan cara seperti itu, hidup masih bisa dijalani.”

Yang kedua berkata,
“Aku punya seekor kuda yang harus kuurus, tapi aku biarkan tali kekangnya tetap di mulut, dan jika aku tak ingin memberinya makan, aku berkata saja bahwa ia sudah diberi. Aku sendiri malah berbaring di dalam peti gandum dan tidur selama empat jam. Setelah itu aku menjulurkan satu kaki dan menggerakkannya beberapa kali ke punggung kuda, dan dengan itu anggaplah ia sudah disisir dan dibersihkan. Siapa pula yang mau repot-repot lebih dari itu? Tapi jujur saja, jadi pelayan tetap terlalu melelahkan bagiku.”

Yang ketiga berkata,
“Mengapa harus menyusahkan diri dengan kerja? Tidak ada gunanya! Aku berbaring di bawah sinar matahari dan tertidur. Lalu hujan mulai turun sedikit, tapi mengapa aku harus bangun? Aku biarkan saja hujan itu turun demi nama Tuhan. Lalu datanglah hujan deras yang sedemikian lebatnya, hingga rambutku tercabut dan hanyut, dan tengkorakku bolong. Aku tempelkan saja plester di situ, dan semuanya jadi baik-baik saja. Aku sudah beberapa kali mengalami luka seperti itu.”

Yang keempat berkata,
“Jika aku harus mengerjakan sesuatu, pertama-tama aku berkeliaran selama satu jam untuk menghemat tenaga. Setelah itu aku mulai bekerja sangat perlahan, dan bertanya apakah tidak ada orang yang bisa membantuku. Lalu aku biarkan dia yang mengerjakan bagian paling berat, sementara aku hanya melihat-lihat saja; tapi, jujur saja, itu pun masih terlalu melelahkan bagiku.”

Yang kelima berkata,
“Apa pentingnya itu? Bayangkan saja, aku harus mengangkat kotoran dari kandang kuda dan memuatkannya ke atas kereta. Aku mengerjakannya pelan-pelan, dan jika aku sudah mengambil sesuatu dengan garpu, aku hanya mengangkatnya setengah jalan saja, lalu istirahat dulu selama seperempat jam sebelum benar-benar melemparkannya ke kereta. Cukuplah bagiku jika aku bisa mengisi satu kereta dalam sehari. Aku tidak ada niat untuk membunuh diriku sendiri karena kerja.”

Yang keenam berkata,
“Memalukan kalian ini; aku bukan takut kerja, tapi aku bisa berbaring selama tiga minggu tanpa sekalipun melepas pakaianku. Apa gunanya mengikat tali sepatu? Aku tidak peduli jika sepatu itu terlepas dari kakiku. Jika aku hendak menaiki tangga, aku seret satu kaki pelan-pelan ke anak tangga pertama, lalu aku hitung sisanya agar aku tahu di mana aku bisa berhenti dan beristirahat.”

Yang ketujuh berkata,
“Itu semua tak berlaku bagiku; majikanku memang mengawasi pekerjaanku, hanya saja ia tidak berada di rumah sepanjang hari. Tapi aku tidak lalai sedikit pun; aku berlari secepat mungkin—secepat orang yang merangkak. Jika aku harus bergerak maju, empat orang kuat harus mendorongku dengan seluruh tenaga mereka. Aku pernah datang ke sebuah tempat di mana enam orang sedang berbaring tidur berderet di atas ranjang. Aku pun berbaring di sebelah mereka dan ikut tidur. Tak seorang pun bisa membangunkanku lagi, dan ketika mereka ingin membawaku pulang, mereka harus mengangkat dan menggotongku.”

Yang kedelapan berkata,
“Sekarang aku tahu, akulah satu-satunya yang benar-benar rajin; jika ada batu di hadapanku, aku tidak repot-repot mengangkat kaki dan melangkahinya. Aku lebih memilih berbaring di tanah, dan jika aku basah dan berlumpur serta kotor, aku tetap saja berbaring sampai matahari mengeringkanku kembali. Paling-paling, aku hanya membalik tubuhku sedikit agar sinarnya bisa mengenai sisiku yang lain.”

Yang kesembilan berkata,
“Itulah cara yang benar! Hari ini, roti ada tepat di depanku, tapi aku terlalu malas untuk mengambilnya, dan hampir mati kelaparan! Selain itu, ada sebuah kendi di dekatnya, tapi kendi itu begitu besar dan berat hingga aku enggan mengangkatnya, dan lebih memilih menanggung dahaga. Bahkan untuk membalikkan badanku pun terlalu melelahkan, jadi aku tetap berbaring seperti kayu gelondongan sepanjang hari.”

Yang kesepuluh berkata,
“Kemalasan telah membawa celaka padaku: kakiku patah dan betisku bengkak. Kami bertiga sedang berbaring di jalan, dan kakiku terjulur panjang. Seseorang lewat dengan kereta, dan roda-rodanya melindas kakiku. Sebenarnya aku bisa saja menarik kakiku, tapi aku tidak mendengar kereta itu datang, karena lalat-lalat berdengung di sekitar telingaku, merayap masuk ke hidung dan keluar lagi dari mulutku; siapa pula yang mau repot-repot mengusir serangga?”

Yang kesebelas berkata,
“Aku berhenti bekerja kemarin. Aku tak sudi lagi mengangkat buku-buku berat untuk majikanku atau mengambilnya kembali. Tidak ada habisnya pekerjaan itu sepanjang hari. Tapi sejujurnya, memang dia yang memecatku, dan tak mau mempekerjakanku lagi, karena bajunya—yang kutinggalkan begitu saja di debu—semuanya jadi dimakan ngengat. Dan aku sangat bersyukur karenanya.”

Yang kedua belas berkata,
“Hari ini aku disuruh mengendarai kereta ke luar kota, dan aku membuat tempat tidur dari jerami di atasnya, lalu tidur nyenyak. Tali kekang terlepas dari tanganku, dan ketika aku terbangun, kudanya hampir lepas, pelananya sudah hilang, tali yang mengikat kuda ke poros kereta pun raib, begitu juga dengan kekang, kendali, dan besi pengikat mulut. Seseorang rupanya lewat dan mengambil semuanya. Selain itu, keretanya terjebak di dalam kubangan lumpur. Aku biarkan saja di situ, dan berbaring lagi di atas jerami. Akhirnya majikanku sendiri datang, dan ia yang mendorong kereta itu keluar. Kalau bukan karena dia, aku pasti masih terbaring di sana sampai sekarang, tidur dengan tenang tanpa gangguan.”

Komentar