KHM 48 - Der alte Sultan (Si Tua Sultan)

 

Si Tua Sultan

Seorang petani memiliki seekor anjing setia bernama Sultan, yang telah menjadi tua, dan telah kehilangan seluruh giginya, sehingga ia tak lagi mampu menggigit atau menggenggam sesuatu dengan kuat. Pada suatu hari, sang petani berdiri bersama istrinya di depan pintu rumah, dan berkata, “Besok aku berniat menembak si Tua Sultan. Ia sudah tidak berguna lagi.”

Istrinya, yang merasa iba kepada binatang setia itu, menjawab, “Ia telah begitu lama melayani kita, dan begitu setia, maka rasanya patut kita terus memberinya makan.”

“Eh! Apa?” kata si lelaki. “Kau ini tidak terlalu cerdas. Ia sudah tak punya satu pun gigi di mulutnya, dan tak ada pencuri yang takut padanya. Sekarang sudah waktunya ia pergi. Kalau pun ia pernah melayani kita, ia pun sudah cukup mendapat makan karenanya.”

Anjing malang itu, yang sedang berbaring bermalas-malasan di bawah sinar matahari tak jauh dari sana, telah mendengar segalanya, dan ia sangat bersedih mengetahui bahwa esok hari akan menjadi hari terakhirnya. Ia memiliki seorang sahabat baik, seekor serigala, dan pada senja hari itu, ia diam-diam pergi ke hutan menemuinya, dan mengeluhkan nasib yang menantinya.

“Dengar, sahabat,” kata si serigala, “janganlah bersedih. Aku akan menolongmu keluar dari kesusahan ini. Aku telah memikirkan sebuah rencana. Besok pagi-pagi sekali, tuanmu akan pergi bersama istrinya untuk membuat jerami, dan mereka akan membawa serta anak kecil mereka, karena tak ada seorang pun yang akan tinggal di rumah. Biasanya, selama mereka bekerja, anak itu akan diletakkan di bawah pagar dalam naungan bayangan; kau tidurlah di sana juga, seolah-olah engkau hendak menjaganya. Lalu aku akan keluar dari hutan dan menculik anak itu. Kau harus berlari mengejarku dengan cepat, seakan-akan hendak merebutnya kembali dariku. Aku akan menjatuhkannya, dan kau akan mengembalikannya kepada orang tuanya, yang akan mengira bahwa kaulah penyelamatnya, dan mereka akan terlalu berterima kasih untuk mencelakaimu; sebaliknya, engkau akan begitu dihargai, dan mereka takkan membiarkanmu kekurangan lagi.”

Rencana itu menyenangkan hati si anjing, dan dilaksanakan persis seperti yang telah disusun. Sang ayah berteriak ketika ia melihat si Serigala berlari melintasi ladang sambil membawa anaknya, namun ketika si Tua Sultan mengembalikannya, hatinya pun dipenuhi kegembiraan, dan ia mengelus-elus si anjing sambil berkata, “Tak sehelai pun rambutmu akan disakiti, engkau akan makan rotiku secara cuma-cuma sepanjang hidupmu.”

Dan kepada istrinya ia berkata, “Pulanglah segera dan buatkan si Tua Sultan sop roti yang empuk agar ia tak perlu menggigit, dan ambillah bantal dari ranjangku, aku akan memberinya itu untuk tempat tidur.”

Sejak saat itu, si Tua Sultan hidup sebaik-baiknya yang bisa ia harapkan.

Tak lama kemudian, sang serigala datang mengunjungi Sultan, dan merasa senang bahwa segalanya telah berjalan dengan baik. “Tetapi, sahabat,” katanya, “kau cukup tahu maksudku kalau suatu hari nanti aku kebetulan mendapatkan kesempatan, aku ingin mencuri salah satu domba gemuk milik tuanmu.”

“Jangan harap akan mendapat izin itu,” jawab si anjing. “Aku akan tetap setia kepada tuanku; aku tidak bisa menyetujui rencana itu.”

Si serigala, yang mengira bahwa kata-kata itu tak diucapkan dengan sungguh-sungguh, datang diam-diam pada malam hari, dan hendak mencuri seekor domba.

Namun si petani, kepada siapa si setia Sultan telah membocorkan rencana si serigala, menangkapnya dan memukul kulitnya dengan cambuk sampai berbunyi keras. Sang serigala pun terpaksa melarikan diri, tetapi ia berteriak kepada si anjing, “Tunggu saja, bajingan, kau akan membayarnya kelak!”

Keesokan paginya, si serigala mengutus seekor babi hutan untuk menantang si anjing agar datang ke hutan, supaya mereka dapat menyelesaikan perkara yang ada. Si Tua Sultan tak dapat menemukan siapa pun yang bersedia berdiri di sisinya, kecuali seekor kucing yang hanya memiliki tiga kaki. Dan ketika mereka pergi bersama, si kucing pincang berjalan terpincang-pincang, sambil mengangkat ekornya ke udara karena kesakitan.

Si serigala dan sahabatnya telah lebih dahulu tiba di tempat yang telah ditentukan, namun ketika mereka melihat musuh mereka datang, mereka menyangka bahwa ia membawa sebilah pedang bersamanya, sebab mereka mengira ekor si kucing yang terangkat itu adalah sebilah senjata. Dan ketika si makhluk malang itu berjalan terpincang-pincang dengan tiga kakinya, mereka pun mengira, setiap kali ia membungkuk, bahwa ia sedang memungut batu untuk dilemparkan kepada mereka. Maka keduanya pun ketakutan; si babi hutan merangkak masuk ke semak-semak, dan si serigala memanjat sebuah pohon.

Si anjing dan si kucing, ketika mereka tiba di tempat itu, merasa heran karena tak seorang pun tampak di sana. Namun si babi hutan ternyata belum berhasil menyembunyikan dirinya sepenuhnya; salah satu telinganya masih tampak menyembul keluar. Sementara si kucing mengamati dengan saksama sekelilingnya, si babi menggerakkan telinganya; si kucing, yang mengira bahwa itu adalah seekor tikus yang bergerak-gerak di sana, melompat dan menggigitnya dengan keras. Si babi hutan pun mengeluarkan teriakan yang mengerikan dan melarikan diri sambil berteriak, “Yang bersalah itu ada di atas pohon!”

Si anjing dan si kucing pun menoleh ke atas dan melihat si serigala, yang merasa malu karena telah memperlihatkan dirinya begitu penakut, dan akhirnya ia berdamai dengan si anjing.

Komentar