KHM 64 - Die goldene Gans (Angsa Emas)

 


Hiduplah seorang pria yang memiliki tiga orang putra, dan yang bungsu di antara mereka disebut Si Bodoh. Ia selalu diremehkan, diejek, dan dipinggirkan dalam segala hal.

Suatu hari, anak sulung ingin pergi ke hutan untuk menebang kayu. Sebelum ia berangkat, sang ibu memberinya sepotong kue manis yang lezat dan sebotol anggur, agar ia tidak lapar atau haus di perjalanan. Saat ia masuk ke dalam hutan, muncullah seorang kakek kecil berambut kelabu yang menyapanya dan berkata, “Selamat siang, Nak. Berikanlah padaku sepotong kue dari kantongmu, dan seteguk anggur; aku sangat lapar dan haus.”

Namun si pemuda yang bijak menjawab, “Jika kuberikan kue dan anggurku padamu, aku sendiri takkan punya apa-apa. Menjauhlah.” Maka ia meninggalkan si kakek berdiri sendirian dan melanjutkan perjalanannya.

Tapi belum lama ia menebas pohon, ia membuat tebasan yang salah, dan kapaknya melukai lengannya. Ia pun harus pulang dan lukanya dibalut. Semua itu adalah ulah si kakek kecil berambut kelabu.

Setelah itu, anak kedua pergi ke hutan. Ibunya memberinya kue dan sebotol anggur, sama seperti yang pertama. Di tengah hutan, ia pun bertemu dengan si kakek kecil yang sama, dan dimintai sepotong kue serta seteguk anggur. Tapi anak kedua pun berkata dengan penuh pertimbangan, “Kalau kuberikan padamu, aku sendiri takkan punya apa-apa. Pergilah!” Dan ia pun berjalan pergi, meninggalkan si kakek.

Namun hukumannya tak lama datang. Baru beberapa tebasan, ia melukai kakinya sendiri, dan terpaksa dipapah pulang.

Kemudian, Si Bodoh berkata, “Ayah, izinkan aku pergi ke hutan untuk menebang kayu.” Sang ayah menjawab, “Kakak-kakakmu sudah celaka karena itu, jangan ikut-ikutan. Kau tidak tahu apa-apa soal menebang kayu.” Tapi Si Bodoh terus memohon, sampai akhirnya sang ayah berkata, “Baiklah, pergilah. Kau akan belajar dengan cara yang menyakitkan.”

Ibunya pun memberinya sepotong kue yang dibuat dari air dan dipanggang di atas sisa bara api, serta sebotol bir asam.

Saat ia sampai di hutan, si kakek kecil berambut kelabu kembali muncul dan menyapa, “Berikan padaku sepotong kue dan seteguk birmu, aku begitu lapar dan haus.” Si Bodoh menjawab, “Yang kupunya hanya kue hangus dan bir asam. Tapi kalau kau suka, mari kita duduk dan makan bersama.” Maka mereka pun duduk, dan saat Si Bodoh membuka bekalnya, ternyata kuenya telah berubah menjadi kue manis yang lezat, dan bir asam itu telah menjadi anggur yang nikmat. Mereka pun makan dan minum bersama.

Setelah itu, si kakek berkata, “Karena hatimu baik dan kau bersedia berbagi apa yang kau miliki, maka aku akan memberimu keberuntungan. Lihat pohon tua itu—tebanglah, dan kau akan menemukan sesuatu di akarnya.” Lalu si kakek pun pergi.

Si Bodoh pun menebang pohon itu, dan ketika pohonnya tumbang, tampak seekor angsa duduk di akar pohon—angsa yang bulu-bulunya seluruhnya terbuat dari emas murni. Ia mengangkat angsa itu, membawanya pergi, dan berjalan hingga sampai ke sebuah penginapan, tempat ia memutuskan untuk menginap semalam.

Kini, sang pemilik penginapan memiliki tiga orang putri, yang semuanya sangat ingin tahu apa gerangan burung menakjubkan yang dibawa oleh Si Bodoh itu, dan mereka ingin sekali memiliki sehelai saja dari bulu emasnya.

Anak sulung berpikir, “Aku pasti bisa mendapat kesempatan untuk mencabut satu bulunya,” dan begitu Si Bodoh keluar ruangan, ia segera meraih sayap angsa itu. Tapi begitu tangannya menyentuh burung itu, jari dan tangannya langsung melekat erat, tak bisa lepas lagi.

Tak lama kemudian datanglah si anak kedua, yang pikirannya hanya tertuju pada bagaimana ia bisa mencabut bulu untuk dirinya sendiri. Tapi baru saja ia menyentuh saudara perempuannya, ia pun langsung melekat juga, tak bisa bergerak sedikit pun.

Akhirnya datanglah si bungsu dengan niat yang sama. Kedua kakaknya berteriak, “Jangan dekati kami! Tolong, menjauhlah!” Tapi ia tidak tahu mengapa ia harus menjauh. “Kalau mereka di sana, aku juga ingin ikut,” pikirnya, dan ia pun berlari mendekat. Namun seketika ia menyentuh saudarinya, ia pun langsung melekat erat bersama mereka.

Dengan demikian, mereka bertiga terpaksa bermalam bersama si Angsa Emas.

Keesokan paginya, Si Bodoh mengangkat angsa itu di bawah lengannya dan melanjutkan perjalanannya, tanpa sedikit pun memperhatikan tiga gadis yang kini terseret mengikutinya, satu tertempel pada yang lain. Mereka pun terpaksa terus berlari di belakangnya, kadang ke kiri, kadang ke kanan, tergantung ke mana Si Bodoh melangkah.

Saat mereka melintasi ladang, seorang pendeta lewat dan melihat rombongan aneh itu. Ia pun berseru, “Sungguh memalukan! Gadis-gadis tak tahu malu, mengapa kalian berlari-lari di ladang mengejar pemuda itu? Tak pantas sama sekali!” Sekaligus ia meraih tangan si bungsu, hendak menariknya pergi namun begitu ia menyentuhnya, ia pun melekat juga, dan terpaksa ikut berlari di belakang.

Tak lama kemudian datanglah sang koster, yang melihat pendetanya sendiri berlari tergopoh-gopoh di belakang tiga gadis. Ia tercengang dan berseru, “Wahai, Paduka Pendeta! Mau ke mana buru-buru? Jangan lupa kita ada pembaptisan hari ini!” Sambil berlari ia memegang lengan jubah sang pendeta dan langsung melekat pula.

Kini jumlah mereka telah menjadi lima, berbaris konyol di belakang Si Bodoh dan angsanya.

Ketika mereka sedang melintas seperti itu, dua orang petani datang dari ladang dengan cangkul di tangan. Melihat pemandangan aneh itu, sang pendeta yang malu setengah mati memohon, “Tolong! Tolong lepaskan aku dan koster dari ikatan ini!” Tapi belum sempat mereka benar-benar menolong, mereka menyentuh si koster dan mereka pun langsung melekat.

Kini tujuh orang berjalan beriringan: Si Bodoh di depan dengan angsa emasnya, dan di belakangnya berderet tujuh sosok yang saling menempel tak bisa lepas.

Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kota, tempat seorang raja memerintah. Raja itu memiliki seorang putri yang begitu pendiam dan serius, hingga tak seorang pun pernah berhasil membuatnya tertawa. Maka sang raja mengeluarkan maklumat: siapa pun yang dapat membuat sang putri tertawa akan diizinkan menikahinya.

Begitu Si Bodoh mendengar ini, ia pun pergi ke istana bersama angsa emasnya dan seluruh rombongan yang menempel di belakangnya. Saat sang putri melihat tujuh orang berbaris kaku dengan wajah panik, terseret ke sana kemari mengikuti pemuda aneh yang menenteng seekor angsa, ia langsung tertawa terbahak-bahak dan terus tertawa seolah tak bisa berhenti.

Melihat hal itu, Dummling pun meminta agar sang putri diberikan padanya sebagai istri, sesuai titah raja. Maka pernikahan pun dirayakan dengan meriah.

Setelah sang raja mangkat, Dummling mewarisi kerajaan, dan bersama istrinya yang tercinta, ia hidup dalam kebahagiaan dan ketentraman untuk waktu yang sangat lama.

Komentar