KHM 188 - Spindel, Weberschiffchen und Nadel (Gelendong, Alat Tenun, dan Jarum Jahit)

 


Dahulu kala, hiduplah seorang gadis kecil yang ayah dan ibunya telah meninggal ketika ia masih sangat muda. Ia tinggal seorang diri, di sebuah rumah kecil di ujung desa, bersama ibu baptisnya, yang menghidupi diri dengan memintal, menenun, dan menjahit.

Perempuan tua itu membawa si anak yatim piatu tinggal bersamanya, mengajarinya bekerja, dan mendidiknya dalam segala hal yang baik. Ketika sang gadis genap berusia lima belas tahun, perempuan tua itu jatuh sakit, memanggil anak itu ke sisi ranjangnya, dan berkata,
"Anakku tersayang, aku merasakan bahwa ajalku telah dekat. Aku mewariskan padamu rumah kecil ini, yang akan melindungimu dari angin dan hujan, serta gelendong, alat tenun, dan jarum jahitku, dengan semua itu kau dapat mencari nafkah."

Lalu ia meletakkan tangannya di kepala si gadis, memberkatinya, dan berkata,
"Peliharalah kasih Tuhan dalam hatimu, dan semuanya akan berjalan baik bagimu."
Sesudah itu ia memejamkan matanya, dan ketika jasadnya dikebumikan, si gadis mengikuti peti jenazahnya sambil menangis pilu, memberikan penghormatan terakhir dengan penuh duka.

Kini gadis itu tinggal seorang diri di rumah kecil itu. Ia rajin bekerja—memintal, menenun, dan menjahit dan berkat perempuan tua yang baik itu seolah menyertai segala perbuatannya. Tampaknya rami di dalam rumah bertambah dengan sendirinya, dan setiap kali ia selesai menenun sehelai kain atau permadani, atau menjahit sebuah kemeja, segera saja ada pembeli yang datang dan membayarnya dengan murah hati, sehingga ia tidak kekurangan apa pun, bahkan masih bisa berbagi dengan orang lain.

Pada masa itu, putra sang Raja sedang mengembara ke seluruh negeri untuk mencari calon istri. Ia tidak menginginkan gadis kaya, tapi juga bukan yang terlalu miskin. Maka ia berkata,
"Akan kujadikan istriku, dia yang paling miskin, namun sekaligus paling kaya."

Ketika ia tiba di desa tempat si gadis tinggal, seperti biasa ia bertanya, siapakah gadis terkaya dan siapa pula yang termiskin di tempat itu?
Orang-orang menyebutkan nama gadis terkaya terlebih dahulu; sedangkan yang paling miskin, kata mereka, adalah gadis yang tinggal di rumah kecil di ujung desa.

Gadis kaya itu duduk di depan pintu rumahnya, dengan segala kemewahannya. Ketika sang pangeran menghampirinya, ia berdiri, berjalan mendekat, dan memberi hormat dengan membungkuk.
Sang pangeran memandangnya, tak berkata sepatah pun, lalu meneruskan perjalanannya.

Ketika ia tiba di rumah gadis miskin itu, gadis tersebut tidak sedang berdiri di depan pintu, melainkan duduk di dalam kamarnya yang kecil. Ia menghentikan kudanya, dan melihat lewat jendela yang disinari cahaya matahari, sang gadis duduk di hadapan alat pintalnya, sibuk bekerja. Gadis itu mendongak, dan ketika melihat sang pangeran memandang ke arahnya, ia langsung tersipu, wajahnya memerah, menundukkan pandangan, dan terus memintal.

Aku tak tahu apakah benangnya rata atau tidak pada saat itu; tetapi ia terus bekerja sampai sang putra raja pergi meninggalkan tempat itu.
Kemudian ia berjalan ke jendela, membukanya, dan berkata,
"Betapa panasnya di dalam kamar ini!"
Namun matanya tetap mengikuti pangeran selama ia masih bisa melihat bulu putih di topi sang pangeran.

Lalu ia kembali duduk bekerja, dan teringat akan kalimat yang kerap diucapkan perempuan tua itu saat bekerja, maka ia pun bernyanyi lirih:
"Gelendongku, gelendongku, cepatlah pergi,
Bawalah sang pelamar datang kemari."

Dan tahukah kau apa yang terjadi?
Gelendong itu melompat dari tangannya seketika, lalu melesat keluar pintu.
Ketika dengan terkejut ia berdiri dan melihat ke luar, tampak gelendong itu menari-nari riang ke tengah jalan terbuka, menarik benang emas yang berkilauan di belakangnya. Tak lama kemudian, gelendong itu pun lenyap dari pandangannya.

Karena kini ia tak punya gelendong lagi, si gadis mengambil alat tenunnya, duduk di hadapan alat tenun, dan mulai menenun.
Sementara itu, gelendong terus menari tanpa henti, dan tepat ketika benangnya habis, ia sampai ke hadapan sang pangeran.

"Apa yang kulihat ini?" serunya.
"Gelendong ini pasti hendak menunjukkan jalan padaku!"
Maka ia membalik kudanya, dan mengikuti benang emas itu kembali ke desa.

Sementara itu, sang gadis tetap duduk bekerja sambil menyanyikan lagu:
"Tenunanku, tenunanku, tenunlah dengan baik hari ini.,
Tunjukkan jalannya pada sang pelamar, kemari."

Segera saja alat tenun itu melompat keluar dari tangannya dan melesat ke luar pintu.

Namun di ambang pintu, ia mulai menenun selembar permadani yang belum pernah dilihat manusia seindah itu. Bunga lili dan mawar bermekaran di kedua sisinya, dan di tengah-tengah hamparan emas itu tumbuh cabang-cabang hijau. Di bawahnya, kelinci dan rusa kecil berloncatan, rusa besar menjulurkan kepala di antaranya, dan burung-burung beraneka warna bertengger di dahan-dahannya; mereka hanya kekurangan satu hal: suara untuk bernyanyi.

Alat tenun itu melompat ke sana kemari, dan segalanya seolah tumbuh dengan sendirinya.

Karena alat tenun pun telah pergi, si gadis kini duduk menjahit. Ia memegang jarumnya dan bernyanyi:
"Jarumku, jarumku, runcing dan halus,
Hiaslah rumahku untuk pelamarku."

Maka jarum itu pun melompat dari jarinya, dan beterbangan ke segala arah secepat kilat. Seakan-akan roh-roh tak kasat mata sedang bekerja; meja dan bangku tertutup kain hijau dalam sekejap, kursi dilapisi beludru, dan jendela dihiasi tirai sutra.

Baru saja jarum menjahitkan tusukan terakhir, si gadis melihat dari jendela bulu putih di topi sang pangeran, yang telah dibawa oleh gelendong melalui benang emas.

Ia turun dari kudanya, melangkah menyusuri permadani menuju rumah itu, dan ketika memasuki kamar, berdirilah sang gadis dalam pakaian lusuhnya, namun ia memancarkan cahaya dari baliknya laksana sekuntum mawar di antara daun-daun.

"Kaulah yang termiskin dan sekaligus terkaya," ujar sang pangeran padanya.
"Ikutlah denganku, engkau akan menjadi pengantinku."

Si gadis tak menjawab, namun mengulurkan tangannya.
Lalu ia menciumnya, menggandengnya keluar, mengangkatnya ke atas kudanya, dan membawanya ke istana, di mana pernikahan mereka dirayakan dengan sukacita besar.

Adapun gelendong, alat tenun, dan jarum jahit disimpan di ruang harta karun kerajaan, dan dihormati sepanjang masa.

Komentar