KHM 137 - De drei schwatten Prinzessinnen (Tiga Putri Hitam)

 


India Timur dikepung oleh seorang musuh yang tidak akan pergi sebelum ia menerima enam ratus thaler. Maka penduduk kota itu menyuruh mengumumkan lewat tabuhan genderang bahwa siapa pun yang sanggup mendapatkan uang itu akan diangkat menjadi walikota.

Tinggallah di negeri itu seorang nelayan miskin yang biasa memancing di danau bersama putranya, dan musuh datang serta menangkap sang anak sebagai tawanan, lalu memberikan enam ratus thaler kepada sang ayah sebagai ganti. Maka si ayah pun pergi dan menyerahkan uang itu kepada para pembesar kota, dan musuh pun mundur, dan si nelayan diangkat menjadi walikota.

Lalu diumumkan bahwa siapa pun yang tidak menyebutnya dengan gelar “Tuan Walikota” akan dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan.

Putranya berhasil melarikan diri dari tangan musuh, dan sampai di sebuah hutan besar di atas gunung yang tinggi. Gunung itu terbuka, dan ia pun masuk ke dalam sebuah kastel ajaib, di mana semua kursi, meja, dan bangkunya diselubungi kain hitam

Kemudian datanglah tiga putri muda, yang seluruhnya berpakaian serba hitam, namun memiliki sedikit warna putih di wajah mereka. Mereka berkata kepadanya bahwa ia tak perlu takut, mereka tidak akan menyakitinya, dan bahwa ia dapat membebaskan mereka. Ia menjawab bahwa ia sangat ingin melakukan itu, jika saja ia tahu caranya.

Maka mereka memberitahunya bahwa ia tidak boleh berbicara kepada mereka selama satu tahun penuh, dan juga tidak boleh menatap mereka, dan apa pun yang ia inginkan boleh ia minta, dan jika mereka berani menjawab, mereka akan melakukannya.

Setelah ia tinggal di sana cukup lama, ia berkata bahwa ia ingin pergi menemui ayahnya, dan mereka memberitahunya bahwa ia boleh pergi. Ia harus membawa serta dompet ini berisi uang, mengenakan mantel ini, dan dalam waktu satu minggu ia harus kembali lagi ke sana.

Lalu ia terangkat begitu saja, dan seketika itu juga telah berada di India Timur. Ia tak lagi menemukan ayahnya di pondok nelayan, dan ia pun bertanya kepada orang-orang di mana si nelayan miskin itu berada, dan mereka berkata bahwa ia tidak boleh mengatakan itu, atau ia akan dijatuhi hukuman gantung.

Maka ia pergi menemui ayahnya dan berkata, “Wahai nelayan, bagaimana kau bisa berada di sini?” Maka si ayah menjawab, “Kau tak boleh mengatakan itu, jika para pembesar kota tahu tentang ini, kau akan digantung.”

Namun ia tidak mau berhenti, dan ia pun dibawa ke tiang gantungan.

Ketika ia sudah berada di sana, ia berkata, “Wahai tuan-tuan, izinkan aku pergi ke pondok nelayan tua itu.” Lalu ia mengenakan kembali jubah kerjanya yang lusuh, dan kembali menghadap para pembesar kota, dan berkata, “Tidakkah kalian melihatnya sekarang? Bukankah aku anak si nelayan miskin? Bukankah aku yang mencari nafkah untuk ayah dan ibuku dengan mengenakan pakaian ini?”

Maka ayahnya pun mengenalinya lagi, dan memohon pengampunannya, dan membawanya pulang ke rumah. Kemudian ia menceritakan semua yang telah terjadi padanya, dan bagaimana ia sampai ke sebuah hutan di atas gunung yang tinggi, dan gunung itu terbuka, dan ia masuk ke dalam sebuah kastel ajaib, yang semuanya berwarna hitam, dan tiga putri muda datang menemuinya, yang semuanya berwarna hitam kecuali sedikit warna putih di wajah mereka. Dan mereka telah mengatakan bahwa ia tak perlu takut, dan bahwa ia dapat membebaskan mereka.

Kemudian ibunya berkata bahwa hal itu kemungkinan besar bukanlah sesuatu yang baik untuk dilakukan, dan bahwa ia seharusnya membawa bejana air suci bersamanya, dan meneteskan air mendidih ke wajah mereka.

Ia pun kembali lagi, dan dalam ketakutan yang besar, ia meneteskan air itu ke wajah mereka saat mereka sedang tidur, dan mereka semua pun berubah menjadi setengah putih.

Lalu ketiga putri itu melonjak bangun, dan berkata, “Anjing terkutuk kau, darah kami akan menuntut balas darimu! Kini takkan pernah ada manusia yang akan dilahirkan di dunia ini, dan tak akan pernah ada yang dapat membebaskan kami! Kami masih punya tiga saudara lelaki yang terikat dengan tujuh rantai, mereka akan mencabikmu hingga hancur!”

Lalu terdengarlah jeritan nyaring menggema di seluruh kastel, dan ia pun melompat keluar dari jendela, dan kakinya patah, dan kastel itu tenggelam kembali ke dalam bumi, gunung itu pun tertutup kembali, dan tak seorang pun tahu di mana kastel itu pernah berdiri.

Catatan: Thaler adalah mata uang logam perak yang digunakan secara luas di wilayah Eropa Tengah, termasuk Jerman, antara abad ke-16 hingga ke-19. Nama ini berasal dari “Joachimsthaler,” yaitu uang logam yang pertama kali dicetak di lembah Joachimsthal (kini Jáchymov di Republik Ceko). Kata “dollar” dalam bahasa Inggris modern berasal dari “Thaler”, tetapi keduanya berbeda secara historis dan nilai tukar.

Komentar